Posts

Showing posts from 2011

PATAS

PATAS. Cepat dan terbatas. Puluhan tahun menyelami dunia perpatasan, aku menjadi saksi sebuah peradaban. Peradaban di atas patas. Pernahkah kauperhatikan, peradaban yang aku bicarakan? *** Matahari makin terasa menggigit kulit kondektur yang tak henti meneriakkan tempat-tempat perhentian penumpangnya. Sementara mata si supir kian menyipit. Silau melihat jalanan di hadapannya. Tengah hari yang seharusnya lebih enak dinikmati dengan duduk santai di halaman rumah, atau mungkin lelap di atas kasur busa kualitas rendah, terpaksa harus mereka isi dengan bolak-balik melintasi kota Jakarta. Dua manusia yang usianya sudah di ujung senja. Lihat saja rambut putih yang telah menguasai kepala mereka, ditambah kerutan kulit yang semakin memperjelas usia keduanya. Para kakek yang tak sepantasnya narik patas. Aku pernah mendengar seorang penumpang yang iseng bertanya pada si supir, “Pak, umurnya berapa?”  Sambil tetap serius mengemudi, si supir menyahut asal, “waduh, saya lupa!” S

Jumat Kiamat

Ciputat, 06-07 November 2011 Aku telah mati pada hari kiamat . *** Dia memandangi selembar buletin agama yang baru saja ia dapatkan dari seorang pria berbaju koko putih yang sudah kumal. Selembar buletin yang terasa mengusik pikirannya. Dia baca lagi judulnya yang dicetak dengan huruf kapital ekstra besar: KIAMAT DATANG PADA HARI JUMAT Sejujurnya, dia enggan membaca seluruh isi buletin tersebut. Merasa percuma. Toh, sudah sejak lama ia memang percaya bahwa kiamat datang pada hari Jumat. Sejak kiamat berkunjung padanya. Bertahun-tahun lalu. Kiamat yang membunuh jiwanya. Jiwa yang bahkan belum sempat tumbuh. Hari itu, hari Jumat. Dia masih berseragam putih-abuabu. Duduk mengerjakan PR dengan serius. Dia yang terlalu tak acuh untuk menyadari bahwa lelaki yang berlutut di hadapannya bersungguh-sungguh. Dia melirik lelaki itu dengan tatapan jengah. Hari itu dia sedang tak mau diganggu. Sebuah keinginan fatal yang dikabulkan Tuhan. Selamanya dia akan tidak tergang

suami orang: tabu

Ciputat, 5 November 2011 Aku bermimpi, kau dan aku mati terbunuh tabu. *** “Aku mencintai kamu.” Satu hari kau katakan itu padanya. Saat itu, nyaris tengah malam. Kalian duduk di kolong jalan layang. Jalanan begitu lengang. Hanya temaram lampu jalan yang menemani kalian. Kau yang kata orang bajingan, nyatanya mengatakan itu tanpa menggenggam tangannya. Ah, bahkan kau hampir tidak pernah menyentuhnya. Kaubilang dia terlalu berharga untuk dikotori oleh tangan-tangan berpeluhmu. Kau hanya menatap matanya. Sepasang mata yang bikin dia bertanya-tanya di dalam kepala, cinta seperti apa yang kaumaksudkan? Apakah seperti cinta dalam kisah-kisah roman klasik? Hingga kalian harus mati hanya untuk bahagia berdua di alam sana? Apakah seperti cinta dalam negeri dongeng? Hingga semesta membela kalian habis-habisan dan menghilangkan semua penghalang lalu hidup bahagia selamanya? “Cinta seperti apa.. yang kaumaksudkan?” Dia akhirnya meludahkan isi kepalanya. Dia yang entah sej

suami orang: satu malam

Ciputat, 31 Oktober 2011 Kepada kalian yang jatuh di dua hati, cintamu serupa jiwaku: abuabu. *** Satu malam, kau pernah membuat dia sungguh terlena. Bahagia tak terkira. Tepat ketika namamu muncul dalam layar telepon genggamnya. Wajahnya bahkan sudah tersipu saat itu juga. Lalu, dengan degup jantung malu-malu, dia mengangkat panggilanmu itu. Dia tersenyum saat suara beratmu mulai menyapa. Sebuah ‘halo’ yang terasa sejuk dalam jiwanya. Kau yang menanyakan kabar sesudahnya, makin membuat senyumnya merekah. Pipinya merona ketika dia mengatakan, dia baik-baik saja. Kau lantas tertawa pelan. Kemudian, diam sesaat. Seolah membiarkan rasa-rasa merayap lewat hening malam. Seolah membiarkan dia tenggelam dalam kebahagiaannya. Kebahagiaan maya. Detik berikutnya, kata itu akhirnya meluncur juga dari mulutmu. Melangkah mantap lewat telinganya, langsung menuju sasaran utama: hatinya. Dia diam. Tak tahu harus membalas dengan kata apa. Sejujurnya bahkan terkejut dan tak siap dengan s

hari palsu

cimahi, 31 agustus 2011 inikah.. hari itu? hari ketika tawa palsu tersebar di berbagai penjuru nyaringnya terdengar serupa desing peluru menghadirkan berjuta kebahagiaan semu lalu, tak lama segalanya runtuh dan kembali.. inikah.. hari itu? hari ketika kotoran hati seharusnya benar-benar luruh lu-ruh bukan begitu?

jarum dan benang

Ciputat, 25 Agustus 2011 this pain is just too real there’s just too much that time cannot erase.. (Evanescence – My immortal) *** Kau berdiri menghadapi pusaran waktu. Terlalu nyaman dalam masa lalu. Hingga detik berdentang kuat-kuat dan menyadarkanmu. Bahwa semua telah berlalu. Bahwa kau harus bergerak maju. Lalu, matamu terbuka lebar-lebar. “ Lihatlah! ” detik menarik tanganmu, membawamu pada satu-satunya manusia yang mengacak-acak hidupmu yang agung. Manusia itu masih berdiri tegak. Masih sekokoh dahulu. Kau berharap manusia itu menyambutmu dengan hangat. Tapi tidak. Kau berharap manusia itu rela tersenyum sedikit saja. Tapi tidak. Kau berharap manusia itu mau menjabat tanganmu sebentar saja. Tapi tidak. Meski kau berharap. Sangat berharap. Bukankah begitu caranya memperlakukan kawan lama? Bukankah kau dan aku tak pernah lebih dari sekadar kawan saja? Hatimu berbisik pelan. Detik menyeretmu semakin dekat. Lalu, kau menyadarinya. Akhirnya, kau menyadarinya.

tentang dia: satu

Ciputat, 21-22 Agustus 2011 Tersenyumlah. Kau dan aku adalah satu. Untuk itu, hidup bersama sudah tak lagi perlu... *** Dia tersenyum di depan pintu kamarku. Membawa dua kaleng kopi. Sungguh aneh melihatnya tampak begitu ceria kali ini. Keanehan yang sempat membuatku lupa untuk mempersilakan dia masuk. “apakah kita hanya akan berdiri di depan pintu kali ini?” katanya lembut. Masih tetap tersenyum. Kamu sakit? Dia menggeleng. Melenggang masuk ke kamarku dengan santai. Tidak terburu-buru seperti hari-hari yang lalu. Meletakkan kedua kopi kalengnya di meja kerjaku, lantas duduk di kasurku. Aku memilih duduk di kursi kerjaku. Memandangi dia yang... berbeda. Ada apa kali ini? “Aku sedang bahagia.” Dia tertawa kecil, “betul-betul bahagia. Kautahu, aku telah bertemu dengan Tuan-Yang-Tepat! Tuan yang hanya ada satu di dunia. Tuan yang tak perlu kaumiliki, tapi sudah cukup membuatmu bahagia hanya dengan mengetahui bahwa dia ada . Itu saja. Apa ya istilahnya... hmmm...

selera humor Tuhan

Ciputat, 15 Agustus 2011 Kurasa, Tuhan sungguh memiliki selera humor yang tinggi. Ketika kau mengatakan, tak mungkin ada manusia yang sempurna di dunia, maka Dia menangkasnya segera. Seperti yang banyak dikatakan orang, tak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Hal itu juga termasuk mencuri cetak biru pendamping hidup idamanmu. Cetak biru yang selama ini kausembunyikan dengan hati-hati di dalam kepala. Agar tak pernah ada yang bisa mengintip apalagi mencurinya. Tapi, kauberhadapan dengan Tuhan sekarang. Dia dengan mudah mencurinya dari kepalamu, lalu mewujudkannya. Membuat sosok khayalan itu benar-benar muncul di hadapanmu, bicara denganmu, tertawa denganmu, bahkan menyentuh tanganmu. Semuanya persis dengan apa yang kau idam-idamkan. Isi kepalanya, tutur bahasanya, sikapnya. Jangan tanya lagi bentuk fisiknya. Tuhan benar-benar mewujudkan impianmu. Sekali lagi, Tuhan telah memesonakanmu. Sayangnya, Tuhan selalu menyiapkan kejutan-kejutan untuk kita. Untukku. Juga untukmu. Mungkin, Di

hati bunda

Ciputat, 30 Juli 2011 Untuk kamu, yang percaya penuh bahwa hati memang cuma satu. *** Pancaran mata bunda ketika menatap ayah selalu berbeda. Aku tahu itu. Sejak dulu, aku selalu tahu itu. Hanya, aku tak pernah mengerti, kenapa begitu? Keluargaku adalah keluarga mini yang bahagia. Satu kepala keluarga, satu ibu, dan satu orang anak.Ayah dan bunda tak pernah terlibat pertengkaran serius. Satu-dua kali masih wajar, menurutku. Yah, dua kepala tak akan pernah benar-benar menjadi satu, bukan? itu pendapatku, pendapat dari gadis berusia duabelas tahun. Setiap pagi, aku, ayah, dan bunda sarapan bersama. Ayahku seorang karyawan di sebuah bank swasta, sementara bunda adalah perawat di salah satu rumah sakit negeri yang lumayan besar di kota ini. Sesibuk-sibuknya bunda, beliau tak pernah absen memasak sarapan ataupun makan malam untuk aku dan ayah. Bahkan bunda juga selalu menyiapkan bekal untuk kami berdua. Bunda selalu bilang beliau mencintaiku sepenuh jiwa. Tak perlu dikatakan

untitled: duapuluh

Ciputat, 29 Juli 2011 Sebuah hadiah untuk si aku yang sedang merayakan hari lahirnya: berusahalah menghasilkan yang terbaik dengan dua kepala dalam satu jiwa. *** Duapuluh. Du-a pu-luh. Berkali-kali si aku menghitung usianya hari itu. Berkali-kali juga hasilnya tetap sama: duapuluh. Si aku tertegun, bertanya-tanya dalam hati, apa yang sudah kulakukan selama duapuluh tahun? Si aku lantas menanti. Pikiran segera membongkar isi kepala. Membuka-buka lagi buku memori yang lembarnya sudah menguning dan berdebu. Pikiran tak menemukan apa-apa di sana selain sejumlah hal percuma. Senang-senang semata. Tak pernah serius menghasilkan sesuatu yang utuh. Seluruhnya cuma separuh. Si aku kini termangu. Berpaling pada hati, memintanya melakukan hal yang sama. Hati segera mengobrak-abrik peti harta di kamarnya. Peti yang dikunci terlalu rapat hingga telah berkarat. Hati tak menemukan apa-apa di sana selain sebungkus kantung merahmuda yang telah pudar warnanya. Sebungkus rasa yang tak

suami orang: manusia sempurna

Ciputat, 23 Juli 2011 Sebuah persembahan bagi manusia yang telah memenuhi seluruh kriteria lelaki idaman: andai kamu masih bujang, sayang... andai... *** Tak ada satu manusia pun di dunia ini yang sempurna. Tak ada. Aku yakin pada pepatah turun-temurun itu. Yakin seyakin-yakinnya. Yakin, sebelum aku bertemu dengan dia. Gadis itu. “Sena.” Mantap ia menjabat tanganku ketika kami pertama berjumpa. Senyumnya tak pernah lepas. Diselingi kunyahan permen karet yang menjadi ‘cemilan’ favoritnya. Kuketahui hal itu setelah beberapa hari mengenalnya. Sena adalah anak magang di tempatku bekerja. Kantor tabloid berita otomotif yang cukup terkemuka di Jakarta. Gadis yang cuek. Terlampau cuek malah. Penampilannya selalu berantakan, celana jins belel, kaos yang kelihatan kebesaran, serta sepatu sneakers yang kuyakini semestinya berwarna putih namun kini tak jelas lagi apa warnanya. Rambutnya pendek dan tampak tak pernah mengenal sisir sebelumnya. Gaya bicaranya tak pernah dibuat-buat. S

suami orang: kopi.

Rawamangun, 03-10 Juni 2011 Dua pasang mata yang saling tatap dengan mulut terkunci rapat, lalu bicara dengan bahasa yang hanya mampu dimengerti oleh kalbu: Cinta. *** Satu lagi kopi kaleng sengaja kutinggalkan di belakang jok supir bus langgananku sebelum aku turun. Setiap berangkat dan pulang kuliah, aku selalu naik bus yang sama. Bus yang hanya ada beberapa hingga aku tak jarang bertemu dengan dia . Si supir bus yang diam-diam ku kagum i. Entahlah, aku tak tahu apa nama rasa ini. Jadilah kusebut saja: kagum . Supir ini berbeda dengan supir bus lainnya. Dia tidak kasar, tidak grasak-grusuk, hampir selalu sopan, dan dia juga ramah. Tambahan lagi aku suka cara dia berpakaian. Dia tidak jorok seperti supir-supir metromini. Dia selalu memakai kemeja dan celana jins panjang. Bahkan, tak jarang dia juga memakai sepatu kets. Asesoris favoritnya, si topi hitam yang sering sekali dia kenakan. Ah, pokoknya aku sangat kagum pada dia ! “Kamu suka sama supir?!!” Salah seorang

wajah sedih

Rawamangun, 24-27 Mei 2011 Kamu, serupa nyeri berkepanjangan di lubuk hati paling dalam. *** Seorang pria yang baru kukenal mengatakan, “melihat wajahmu itu, entah kenapa, aku selalu ingin menangis. Rasanya... sedih sekali. Kenapa ya?” Hmm? Sedih bagaimana? “seperti terenyuh, begitu... pokoknya bikin aku ingin menangis. Kenapa ya?” Kenapa ya? Aku juga tak tahu... hahaha! Setibanya aku di rumah, aku segera bercermin. Penasaran juga dengan kata-kata si pria yang tadi kutemui. Kupandangi bayang wajahku sendiri. Sepasang mata dengan lingkar hitam di sekelilingnya. Jerawat di sana-sini. Hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir yang sedikit hitam. Semuanya tampak normal. Tak ada kelainan yang bikin aku kelihatan menyedihkan. Pria itu hanya bergurau saja. Mulanya kupikir begitu. Tapi lalu, kulihat sesuatu dalam mataku. Ya! Ada sesuatu di dalam mataku! Kuperhatikan lekat-lekat sesuatu itu. Sesuatu... seseorang... dia tampak sangat menyedihkan. Dia mirip sekali dengan

untitled: pelarian (?)

Rawamangun, 19 Mei 2011 Gara-gara kamu, kini, saya mengungsi ke kampung orang. Satu tempat yang banyak sekali jalan layang. Satu tempat yang sedang saya pilah-pilah dengan cermat, lokasi mana yang paling tepat untuk membuang kamu dari ingatan. Kamu, yang telah sangat mengejutkan saya dengan status pernikahan itu. Ya... ya... meski sejak awal saya memang sudah menduga kalau kamu tak lagi bujang. Tapi, tetap saja... mengejutkan. Sudah sekian hari sejak saya memutuskan untuk melakukan pelarian. Kabur dan benar-benar hilang. Namun, saya masih juga belum menemukan tempat yang sesuai untuk kamu saya tinggalkan. Mulanya, saya pikir di terminal kamu pasti akan merasa kerasan. Tapi, setelah saya pikir ulang, terlalu banyak asap kendaraan di sana. Kamu bisa kena penyakit paru-paru nantinya. Saya tak mungkin sekejam itu. Lalu, saya pikir, di salah satu kolong jalan layang mungkin akan cocok juga. Tapi, saya lihat terlalu banyak sampah di sana, ditambah beberapa gelandangan. Sekalipun ada ta

tentang dia: jalan buntu.

Rawamangun, 17 Mei 2011 Mencintai kamu, terlalu menyakitkan. Melupakan kamu, terlebih lagi... *** Selamat malam, Tuan! Maaf merepotkanmu di jam-jam seperti ini. Tidak sedang sibuk, bukan? Ah, sepertinya, aku kenal kemeja yang kau kenakan itu. Kemeja kotak-kotak cokelat muda yang menjadi favorit dia. Dia bilang, kau semakin mempesona dalam balutan kemeja itu. Kaos putih ataupun merah, tak jadi masalah. Dia bilang, semua yang menempel di tubuhmu akan selalu terlihat indah. Kemeja, kaos di dalamnya, celana jins, sandal jepit ataupun sepatu, semuanya indah... Kamu tahu, kenapa aku memintamu datang malam ini? Kurasa tidak. Bahkan kuyakin, kau tak sadar sama sekali kalau salah satu penumpang langgananmu yang paling setia telah hilang dari peredaran. Dia, si gadis yang kemarin dulu kuceritakan padamu. Dia kabur. Mengungsi ke daerah orang. Memang tak sepenuhnya gara-gara kamu. Tapi, dia bilang padaku kalau dia merasa beruntung ditempatkan jauh dari kamu. Dia bilang, dia butuh wakt

tentang dia: kebrengsekan tamu baru

Ciputat, 14 Mei 2011 Malam ini, izinkanlah aku mengalirkanmu dari kedua mataku hingga pagi menjelang... *** Halo, untuk kamu si tamu baru. Tamu baru yang bikin dia depresi luar biasa. Akhirnya aku nekat mengajakmu bicara melalui jiwa yang terluka. Salam kenal. Tahukah kamu perihal dia? Si gadis yang senang memperhatikanmu dari spion bus kota yang kaukemudikan itu. Tahukah kamu? Sepertinya kamu tahu ya... Beberapa waktu lalu, dia datang ke rumahku. Menangisi kamu. Dia jatuh hati padamu, kurasa. Tapi, kamu terlalu jauh dari jangkauan tangan mungilnya. Dia bilang, cintanya padamu adalah cinta maya. Antara ada dan tiada. Tak benar-benar nyata. Tak bisa dinyatakan. Mulanya, dia hendak memperkenalkan diri padamu. Ingin, setidaknya, bisa selangkah lebih dekat denganmu. Agar kemudian, cintanya tak lagi maya. Tapi, satu berita duka tiba-tiba sampai di telinganya... sungguh, aku pun sangat terkejut ketika mendengar berita sedemikian. Jadi, kamu sudah berkeluarga rupanya? Kamu tah

suami orang: madu

Ciputat, 13 Mei 2011 “Aku ingin mencium kamu sampai istrimu sanggup merasakan manisnya bibirku saat ia mengecup bibirmu..” *** Terlentang sendirian di dalam kamar. Kau meratap. Menyalahi Tuhan atas takdirmu yang terlalu menyedihkan. Lagi-lagi kaujatuh dalam hati yang telah berpenghuni. Sempat kauberpikir untuk perlahan ikut menghuni hati si pria beristri. Menyingkirkan penghuni hati satu-satunya, meski kautahu kau tak akan pernah menjadi satu-satunya. Kau biarkan dirimu kerasukan setan. Kemudian, kau mulai berandai. Andai kau betul-betul menerima madu dari si pria beristri. Bagaimana rasanya? Berbagi ruang hati dengan si istri, bagaimana rasanya? Bahkan yang paling pasti, berbagi ranjang dengan si istri, bagaimana rasanya? Kau lalu bergidik ngeri. Khayalan itu menjadi semacam tamparan yang menyadarkanmu. Menyadarkan bahwa poligami itu hal yang sangat keterlaluan! Bahwa poligami yang dulu kaupuja-puja itu ternyata sangat sangat tidak menyenangkan. Ya. Kau sadar bahwa setiap

cinta maya: apa rasanya?

Ciputat, 2 Mei 2011 Satu hari, kutanyakan pada maya, “Pernahkah kau mencinta?” Maya tersenyum, “menurutmu?” “Kurasa tak pernah.” Mantap kujawab pertanyaan maya, “bukankah cintamu bikin dunia tergelak tawa? Menyanyikan lagu cinta pada asap jelaga itu gila, menangisi kepergiannya malah terasa semakin edan! Bukankah kau bahkan tak pernah ada? Bagaimana pula kau mampu mencinta?” Maya tertawa pelan, “apa yang kau tahu tentang cinta? Kaupikir dunia tahu segalanya? Kaupikir mereka yang menertawakan cintaku tahu tentang cinta? Kurasa mereka bahkan tak tahu bagaimana cara mengeja cinta!” “cintaku jauh lebih nyata dari cinta siapapun di dunia! Bahkan yang terlihat semegah Prince Charles dan Lady Diana ternyata hanya pura-pura! Cintaku tak akan berkhianat dan tak akan pernah dikhianati! Cintaku tak akan pernah mati! Abadi!” Aku tercenung sesaat, “lalu, apa rasanya cinta yang demikian? Bahkan yang kaucinta tak pernah tahu cinta itu ada, bahkan dia juga tak pernah tahu kau ada, baga

untitled: misuh-misuh

Ciputat, 27 April 2011 Kepada kamu yang sepanjang perjalanan tadi siang misuh-misuh: hidup itu bundar, sayang, ia akan terus berputar, jangan diratapi. Nikmati saja! :) *** Bertemu kamu, selalu memiliki kenikmatan tersendiri. Tapi, bertemu kamu yang sedang merajuk itu hal lain. Mukamu ditekuk sedemikian. Tak ada senyuman. Benar-benar tampak sangat mengerikan. Kamu jadi persis seperti perempuan yang sedang datang bulan. Sungguh! Kamu mengganti siul-siul merdumu dengan sumpah serapah. Bahkan tak ada lirikan mata menggoda. Kamu memandangi jalan dengan aura membara, layaknya pemburu yang mencari mangsa. Seperti bukan kamu saja. Saya yakin, kamu disusupi salah satu penghuni neraka sana. Saya yakin, itu bukan kamu sepenuhnya. Sungguh! Bertemu kamu, selalu memiliki kenikmatan tersendiri. Meski kamu misuh-misuh kali ini. Sungguh! ***

suami orang: meracuni hati

Aku tak pernah menyangka jika meracuni hati sendiri ternyata begitu sulitnya. Tak semudah meracuni tikus di dapur sampai benar-benar mati. Bukan, bukan maksudku untuk membunuh hati seperti tikus-tikus di dapurku itu. Aku hanya ingin melumpuhkannya kali ini. Menghentikan hati jatuh cinta pada manusia yang tak seharusnya ia cintai. Pria-pria beristri. Puluhan kali, alam sadarku menasehati hati bahwa tak baik mencintai mereka yang tak lagi sendiri. Bahwa tak baik merebut kasih dari anak-anak yang masih suci. Bahwa dosa-dosa dari tiap butir air mata sang istri harus kutanggung sendiri. Tapi hati seakan tuli. Hati tak pernah peduli. Bukankah, kaubilang, cinta tak pernah salah? Memang. Karena bukan cinta yang salah. Tapi, kau! Ya, hati, kau yang salah! Jangan melanggar batas! Simpan saja cinta itu sampai mati! Nikmati saja pedihnya mencinta tanpa bisa memiliki! Nikmati saja cinta itu sendiri! Jangan bikin jiwa-jiwa lain sakit hati! Gila! Bukankah, kau setuju, saat kukatakan dia

untitled: bengong itu...

Ciputat, 23 April 2011 Untuk kamu, satu-satunya yang hanya bisa saya miliki ketika bengong :) *** Bengong itu nikmat. Begitu menurut seorang teman. Saya sendiri merasa bengong itu justru menyakitkan. Tiap kali saya bengong, maka akan muncul memori-memori yang tak pernah saya inginkan untuk muncul lagi. Mereka hadir begitu saja. Sepaket dengan bengong dan segerombol kesunyian yang segera mengerubungi saya. Setelah diserbu oleh pasukan pengacau pikiran itu, saya akan meratapi semua ketololan saya di masa-masa pembentukan memori tersebut. Kenapa dulu saya begitu, kenapa dulu tak begini, kenapa harus ada ‘kenapa’. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Berikutnya saya akan semakin meratap ketika ‘kenapa’ mulai berganti menjadi ‘andai’. Andai begitu maka begini, andai begini maka... ahh, andai! Bengong itu menyedihkan. Menontoni memori ketololan diri sendiri itu menyedihkan. Atau... menjadi seorang masokis itu malah menyenangkan? *** Kau berbisik di telingaku, “kau tahu apa yang kulihat

tentang dia: cinta maya si tamu baru

Ciputat, 13 April 2011 Selamat malam, hei kau yang berkemeja biru muda! Terima kasih atas senyummu sore tadi yang sukses menginvasi isi kepala. Terima kasih! --- Malam itu, sehabis hujan, si gadis datang ke kamarku. Ia tampak tak tenang. Terlihat jelas raut kekhawatiran pada wajahnya. Khawatir pada entah, aku belum tahu. Kupersilakan ia masuk. Membuatkan secangkir teh hangat untuknya. Ia duduk di kasurku, seperti biasa. Berterima kasih untuk teh buatanku. Lantas aku duduk di kursi kerjaku, membiarkan komputer menyala seperti hari yang sudah-sudah. Siap mendengarkan pikiran-pikirannya. Ada apa? Dia menyeruput teh nya pelan-pelan. Menerawang jauh. “Kau percaya pada cinta?” Aku mengangguk. Siapa pula yang tidak percaya pada cinta? Dia menyeruput teh nya lagi, semakin perlahan kali ini. Matanya masih menerawang entah ke mana. Rasanya begitu jauh. Sangat jauh... Dia menoleh padaku dengan cepat, “Kalau... cinta maya... kau percaya?” Aku tertawa pelan, sedetik

sekarat

Ciputat, 18 April 2011 Tak bisakah aku menemuimu sebelum nyaris mati tercekat rindu? Atau... Apakah memang sudah seharusnya begitu? Apakah memang, sudah seharusnya aku tersiksa dahulu, merana dahulu, baru kemudian Kau muncul, Tersenyum padaku, Meluluhkan lagi hatiku, Hanya beberapa detik sebelum akhirnya kau kembali berlalu. Meninggalkan asap pekat yang bikin sesak. Meninggalkan aku yang kembali tercekat: rindu. ---- Kepada kamu, si maya berkemeja biru muda: sangat berharap kamu lebih dari sekadar asap yang tak mungkin kutangkap :)

suami orang: maya.

Maya. Gadis yang selalu membiarkan rambut bergelombangnya tergerai sampai di bahu duduk di hadapanmu sambil mengaduk-aduk jus alpukat favoritnya. Maya bermata cokelat tua yang mengingatkanmu pada manisnya hari valentine di masa SMA, kulitnya bersih dan begitu lembut, bikin nyamuk dapat bercermin di sana atau malah tidur di atasnya alih-alih menggigitnya. Maya bertubuh ramping, lekukannya sempurna, para pria tak akan sanggup memandanginya lama-lama tanpa berpikir macam-macam, kecuali kamu. Kamu, sahabat terdekat Maya selama tiga bulan belakangan ini. Kamu, tempat curahan hati maya tentang semua pria yang berlomba-lomba mengajaknya berkencan. Kamu, satu-satunya yang tahu bahwa Maya percaya pada ramalan di masa kuliahnya dulu. Ramalan tentang jodohnya. Suatu siang gerimis berbulan-bulan lalu, kamu dan Maya sedang menikmati kopi di pinggir jendela gedung lantai limabelas tempatmu dan Maya bekerja. Seperti biasa, kamu tak banyak bicara. Hanya asyik mendengarkan Maya berceloteh tentang apa

rindu maya

Pernahkah kau merasa, kangen luar biasa? Satu rasa yang hadir tiba-tiba. Satu rasa yang bikin nafsu makanmu hilang entah kemana. Satu rasa yang bikin ramai isi kepala. Satu rasa yang mengundang insomnia mampir ke rumah tiap malam. Satu rasa yang bikin dirimu terjangkit asma. Satu rasa yang bikin konsentrasimu terpecah menjadi berjuta-juta. Satu rasa yang... ah, entah. Pernahkah? Pernahkah kau merasa, kangen luar biasa? Tapi tak tahu, kepada apa atau siapa... Hanya kangen saja. Itu saja. Pernahkah? Katamu, “Apa yang paling menyedihkan dari rindu?” Kataku, “Entahlah, aku tak tahu.” Lalu kutatap matamu, “menurutmu?” Katamu, “Yang paling menyedihkan dari rindu adalah rindu maya. Yaitu ketika kau bahkan tak tahu, kepada apa atau siapa rindu itu ada...” *** Ciputat, 10 April 2011 untuk Mr. Blue Sweet Shirt, kapan kau tak lagi menjadi sosok maya ? :)

untitled: tanpa alasan

Diamlah kau di situ. Diam sebentar saja. Jangan bergerak satu milimeter pun. Jangan sunggingkan bibirmu. Jangan mengedipkan matamu untuk menggodaku. Tidak. Kau juga tak boleh bersiul seperti itu! Diam. Diam saja. Ada apa? Tak ada apa-apa. Jangan tertawa seperti itu. Aku butuh wajahmu yang polos tanpa kharisma apa-apa. Stop! Sudah kubilang untuk tahan senyummu. Sebentar saja. Diam. Diam... ya.. seperti itu. Di...am. ..... Ah, ternyata... kau tak terlalu rupawan. Wajahmu standar dan sangat pasaran. Ada bekas jerawat di pipimu. Ada tahi lalat di ujung bibir atasmu, tepat di sebelah kiri sana. Sejujurnya, aku kurang suka dengan orang yang punya tahi lalat di daerah itu. Nah, lihat itu, rupanya saat kau tersenyum, ada gurat-gurat usia di sekitar matamu. Bahkan gigimu berantakan seperti itu. Bukan. Bukan wajahmu. Ternyata. Jangan tertawa dulu! Diam lah sebentar! Jari-jari tanganmu, tak terlalu indah. Ternyata. Terlalu gempal. Aku tak suka! Kau juga tak terlalu tinggi. Agak t