suami orang: maya.

Maya. Gadis yang selalu membiarkan rambut bergelombangnya tergerai sampai di bahu duduk di hadapanmu sambil mengaduk-aduk jus alpukat favoritnya. Maya bermata cokelat tua yang mengingatkanmu pada manisnya hari valentine di masa SMA, kulitnya bersih dan begitu lembut, bikin nyamuk dapat bercermin di sana atau malah tidur di atasnya alih-alih menggigitnya. Maya bertubuh ramping, lekukannya sempurna, para pria tak akan sanggup memandanginya lama-lama tanpa berpikir macam-macam, kecuali kamu. Kamu, sahabat terdekat Maya selama tiga bulan belakangan ini. Kamu, tempat curahan hati maya tentang semua pria yang berlomba-lomba mengajaknya berkencan. Kamu, satu-satunya yang tahu bahwa Maya percaya pada ramalan di masa kuliahnya dulu. Ramalan tentang jodohnya.
Suatu siang gerimis berbulan-bulan lalu, kamu dan Maya sedang menikmati kopi di pinggir jendela gedung lantai limabelas tempatmu dan Maya bekerja. Seperti biasa, kamu tak banyak bicara. Hanya asyik mendengarkan Maya berceloteh tentang apa saja. Tentang kemacetan parah di bawah sana, tentang bulir-bulir air yang membasahi jendela, tentang awan yang kelabu luar biasa, apa saja. Banyak pria yang memandangi pemandangan kalian di pinggir jendela itu dengan perasaan iri. Iri padamu. Kamu yang tak pernah berusaha mengejar Maya seperti mereka, kamu yang malah bisa sedekat itu dengan Maya.
Maya bilang, gerimis siang itu sudah diramalkan dalam berita televisi tadi pagi. Kamu tersenyum, mengangguk-angguk sedikit. Maya menyesap kopinya. Tiba-tiba terhenti dengan gerakan dramatis. Sepertinya ia teringat pada sesuatu hal. Lalu, ia mulai menceritakan ramalan masa kuliahnya dulu dengan sangat antusias. Katanya, dulu ia senang mengunjungi festival-festival di kampus orang. Pada satu festival, ia mampir ke sebuah stan peramal. Di stan itulah Maya iseng-iseng bertanya tentang jodohnya. Peramal perempuan di sana bilang, Maya akan berjodoh dengan seorang pria gemini. Hanya seorang pria gemini, yang padanya lah Maya akan merasa benar-benar nyaman dan terlindungi. Bukan pria gemini sembarangan, jodohnya adalah belahan jiwanya. Seperti lambang gemini yang kembar, jodohnya akan benar-benar melengkapi. Melengkapi Maya yang juga seorang gadis gemini. Maya cekikian geli ketika selesai bercerita tentang ramalan masa kuliahnya itu. Kamu ikut tertawa pelan. Kamu sendiri memang tak begitu percaya ramalan, bukan? Maya mencubit lenganmu pelan saat kamu mengatakan itu, saat kamu bilang tak terlalu percaya pada ramalan. Maya bilang, tak jarang ramalan itu benar-benar terjadi. Ia menunjuk gerimis di luar gedung sana, seperti gerimis itu, bisik Maya sambil tersenyum. Melihat senyumnya, bikin kamu mulai sadar, wajar pria-pria lain iri padamu.
Jus alpukat Maya sudah tinggal separuh ketika kamu akhirnya menyelesaikan sepiring nasi goreng seafood-mu. Kamu mengaduk jus jerukmu, lalu mulai bertanya tentang Doni, pria yang minggu lalu-akhirnya-sukses mengajak Maya kencan ke bioskop. Maya menggeleng. Ternyata Doni bukan seorang gemini. Bukan pangeran gemini yang selama ini ia nanti. Doni bahkan terlalu norak, tak paham musik klasik, tak suka film romantis, dan tak pernah baca buku-buku sastra yang bagi Maya justru sangat menarik. Kesimpulannya, Doni sukses masuk ke dalam daftar panjang pria sampah bagi Maya. Kamu tertawa, mengatakan beberapa hal tentang pernikahan. Kamu bilang, sudah saatnya bagi Maya untuk menyerah dan lebih memikirkan masa depan. Pangeran gemini entah kapan akan datang sementara usia Maya sudah semakin matang sekarang. Lagipula, bagaimana jika pangeran gemini itu sudah ada yang punya? Apakah Maya akan nekat merebut pangeran gemini dari keluarganya? Maya mencibir. Cepat-cepat menyeruput habis jus alpukatnya. Bikin kamu semakin tergelak. Begitulah Maya kalau sedang kesal karena diceramahi. Tapi, di saat seperti itulah kamu justru merasa bahwa Maya memang manis sekali.

***

Sudah dua hari kamu tidak masuk kerja. Kamu juga tidak menghubungi Maya, bikin gadis itu khawatir luar biasa. Pria-pria lain merutuki dirimu. Merasa kamu terlalu kejam pada sang dewi pujaan mereka. Merasa kamu seharusnya memberi kabar, agar Maya tidak tampak sedemikian kehilangan. Tak ada yang sanggup menghibur Maya hingga kamu akhirnya kembali masuk kerja di hari ketiga. Maya memukul lenganmu kuat-kuat dengan kepalan tangan mungilnya. Jahat. Ya, jahat. Berulang kali Maya menyerukan kata itu. Suaranya menusuk-nusuk telingamu. Kamu tahu, pria-pria di kantor itu mungkin kepengin menghajarmu karena membuat Maya jadi seperti itu. Lantas, kamu tersenyum dan meminta maaf. Katamu ada urusan yang sangat mendadak. Kamu menebusnya dengan membayari makan siang Maya hari itu.
Kamu memesan nasi goreng seafood seperti biasa, Maya juga. Maya minum jus alpukat sementara kamu memilih jus jeruk, seperti hari yang sudah-sudah. Maya makan dalam diam. Kamu mulai heran. Biasanya Maya bercerita dengan penuh semangat saat makan siang. Tentang para pria yang tak tahu diri. Tentang si Lucky yang tak henti mengajaknya makan malam meski sudah ditolak berulang kali, tentang si Andi yang mengiriminya setangkai mawar merah tiap hari, tentang si Toni yang selalu menyelipkan puisi gombal untuknya di dalam laci. Para pria yang tidak seperti kamu, dulu Maya selalu bilang seperti itu.
Tanganmu menyentuh dahi Maya, kamu bertanya dengan nada khawatir, apakah mungkin gadis itu sakit hari ini. Maya menggeleng. Melepaskan tanganmu dari dahinya. Maya menatap matamu. Sejurus kemudian menanyakan zodiakmu. Kamu menatap mata Maya sebentar. Mata cokelat tua yang mengingatkanmu pada cokelat valentine yang tak selalu manis rasanya. Kemudian beralih pada nasi gorengmu. Baru kali ini Maya menanyakan zodiakmu. Kamu tak suka berbohong, tapi sekaligus benci melihat Maya bersedih. Pelan kamu berucap di sela-sela mengunyah nasi goreng seafood yang kini terasa hambar.
“Gemini.”
Ingatan Maya membawanya kembali ke dua hari saat kau tak masuk kerja. Dua hari yang merana. Lucky bilang anakmu sakit. Andi bilang Kamu dan istrimu sibuk membawanya ke rumah sakit. Toni bilang anakmu kena demam berdarah. Bahkan Doni ikut menghampiri Maya dan bilang mungkin kamu akan izin cuti lebih lama.
Maya menopang pipi dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk mengaduk-aduk jus alpukat. Ia bergumam,
“Ternyata pangeran gemini-ku sudah beristri.”

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata