suami orang: manusia sempurna

Ciputat, 23 Juli 2011

Sebuah persembahan bagi manusia yang telah memenuhi seluruh kriteria lelaki idaman: andai kamu masih bujang, sayang... andai...

***

Tak ada satu manusia pun di dunia ini yang sempurna. Tak ada. Aku yakin pada pepatah turun-temurun itu. Yakin seyakin-yakinnya. Yakin, sebelum aku bertemu dengan dia. Gadis itu.

“Sena.” Mantap ia menjabat tanganku ketika kami pertama berjumpa. Senyumnya tak pernah lepas. Diselingi kunyahan permen karet yang menjadi ‘cemilan’ favoritnya. Kuketahui hal itu setelah beberapa hari mengenalnya.

Sena adalah anak magang di tempatku bekerja. Kantor tabloid berita otomotif yang cukup terkemuka di Jakarta. Gadis yang cuek. Terlampau cuek malah. Penampilannya selalu berantakan, celana jins belel, kaos yang kelihatan kebesaran, serta sepatu sneakers yang kuyakini semestinya berwarna putih namun kini tak jelas lagi apa warnanya. Rambutnya pendek dan tampak tak pernah mengenal sisir sebelumnya. Gaya bicaranya tak pernah dibuat-buat. Sikapnya pun apa adanya. Berdiri di hadapan Sena, bicara dengannya, bikin siapa saja sanggup tergelak tawa. Sanggup berhenti dari kepura-puraan hidup. Sanggup menjadi diri sendiri. Termasuk aku. Sena sanggup bikin adrenalinku menggeliat. Mulanya, aku hanya penasaran. Penasaran, kenapa bisa ada makhluk seperti Sena di dunia? kenapa?

“keluarga saya perempuan semua kok, om...” Sena mengikik geli ketika suatu hari kutanyakan kenapa dia bisa berwujud se-lelaki itu. Kuterka-terka, barangkali ayah-bundanya berharap seorang bayi laki-laki ketika dia akan dilahirkan ke dunia. Sena mengangguk mantap, masih cekikikan geli. Aku suka caranya mengikik seperti itu. Cekikikan Sena yang khas. “Kok tahu sih, om? Mama-papa saya emang kepingin banget anak cowo, om! Tapi, poof, muncullah saya di dunia. Bayi perempuan..”

Semenjak obrolan itu, aku dan Sena menjadi semacam rekan kerja yang cukup dekat. Dia memanggilku ‘om’ meski sesungguhnya aku bahkan tak punya keponakan seusia dia. Dan kupanggil dia ‘lil bro’. Kami cukup dekat hingga aku tahu kalau Sena memang lebih banyak bergaul dengan laki-laki ketimbang perempuan sejak masih kecil dulu. Aku tahu kalau panggilan kesayangan Sena dari sang ayah adalah ‘my boy’. Aku tahu kalau Sena betul-betul tak suka pakai rok kecuali dalam keadaan yang sangat-sangat-sangat terpaksa. Aku tahu kalau porsi makan Sena melebihi daya tampung gadis lain seusianya. Aku tahu hampir semua tentang Sena. Tak jarang dalam obrolan ringan bersama rekan kerja lainnya, aku sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan iseng kawan lain untuk Sena. Bahkan, aku juga tahu kalau Sena benci bertindak memakai perasaannya. Ia lebih suka segala hal dikerjakan dengan logika dan pikiran matang.

“Saya lebih suka pake logika, om!” Sena mengatakan itu dengan berapi-api, “kalau pake perasaan itu ribet. Makanya, saya sering sebel bergaul sama cewek. Mereka terlalu sering pake perasaan. Jarang rileks. Bentar-bentar meweek. Huh! Payah!”

Aku tertawa mendengar ucapan Sena tentang gendernya sendiri. Padahal, dia juga termasuk dalam golongan cewek.

“tapi, saya beda, om!” Sena membela diri. Aku makin geli. Ah, kenapa ada manusia seperti Sena di dunia? kenapa?

***

Hari itu, Sabtu pagi. Aku mengejar deadline tabloid kami bersama Sena. Berdua di kantor. Sibuk menyunting artikel-artikel yang harus segera naik cetak besok pagi. Sena sibuk di kubikelnya. Aku di kubikelku. Kubikel yang bersebelahan. Seharusnya, aku tidak kehilangan staples-ku saat itu. Seharusnya, aku tidak mencarinya ke kubikel Sena saat itu. Seharusnya, aku tidak ada sedekat itu dengan Sena. Sena, si gadis ajaib yang masih kupertanyakan keberadaannya di dunia. Sena...

Aku bergegas masuk ke kubikel Sena. Terburu-buru mengambil staples di pojok mejanya. Aku merendahkan tubuh tepat di belakang kepala Sena. Terlalu dekat. Hingga sanggup kubaui aroma sampo dari rambut Sena. Hingga detik terasa kian melambat. Hingga ada rem yang tak mampu kupijak. Hingga, wajahku mendekati kepala itu. Rambut beraroma sampo itu...

Sena tersentak kaget, lantas cepat-cepat merundukkan kepalanya sedikit. Aku sendiri lekas menegakkan tubuh. Ikut kaget dengan apa yang terjadi barusan. Kaget dengan apa yang kulakukan. Apa yang kulakukan barusan?!!! Apa itu?!!!

Dengan tetap berusaha tenang seolah tak terjadi apa-apa, aku segera kembali ke kubikelku. Sisa hari itu, ada kekakuan yang merambat di antara aku dan Sena. Kekakuan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata...

***

Seorang pemuda dari bagian pemasaran tiba-tiba mendatangi Sena. Mengajak berbincang cukup lama. Aku memperhatikannya dari kubikelku. Namun, ruang kerja yang terlalu riuh, bikin aku tak punya frekuensi pendengaran yang cukup untuk menguping pembicaraan mereka berdua. Hanya, aku melihat Sena tampak tak terlalu bersemangat. Seperti malas menanggapi. Barulah ketika makan siang dan kami duduk di meja kantin berdua, kutanyakan selewat tentang pemuda itu.

“ah.. itu...” Sena menyeruput es jeruknya, “dia ngajakin saya minum kopi. Tapi, saya ngga mau. Males ah...”

Aku mengangguk-angguk sambil ber-oh panjang. Segera menyibukkan diri dengan mangkuk soto ayam di hadapanku. Ada yang terasa mengganggu di dada karena mendengar seorang pemuda mengajak Sena minum kopi. Perasaan aneh yang bukan lagi bernama penasaran.

Kupandangi Sena yang melahap sate ayam-nya dengan semangat. Kenapa ada manusia seperti Sena di dunia? kenapa?

Aku berdeham pelan. Sena melirikku. Iseng, kutanyakan padanya, apakah tak ada teman lelakinya yang jatuh hati pada Sena. Dari sekian banyak teman lelaki itu, apakah tak ada yang tersasar ke dalam hati Sena?

Sena mengangkat bahu, “ngga tahu, om. Saya sih main, ya main aja. Mana tahu ada yang naksir saya atau ngga.” Sena melanjutkan makan sate-nya. Tiba-tiba ia berhenti sebentar. Terlihat seperti berpikir, lantas menambahkan, “lagipula, saya udah ngga dianggap cewek sama teman-teman kok, om...” lalu Sena terkekeh pelan dan kembali sibuk dengan sate-nya. Aku tertawa. Kukatakan padanya, sekali-sekali ia harus pakai perasaan sedikit. Jangan terus-terusan berpikir seperti laki-laki. Jangan sampai belok dan malah jadi tidak doyan laki-laki sama sekali.

“Saya normal kok, om!! Enak aja!!!” Sena memukul lenganku pelan. Aku tertawa sekali lagi. Ah, kenapa ada manusia seperti Sena di dunia?

***

Aku dan Sena semakin hari semakin dekat saja. Selera kami dalam banyak hal ternyata tak jauh berbeda. Bikin kami kian seperti sepasang saudara laki-laki. Begitulah aku menamakan hubungan kami. Meski sejujurnya, aku mulai menginginkan... lebih.

Siang itu, aku dan Sena sedang duduk di rooftop kantor kami. Hal yang tak jarang kami lakukan setelah selesai makan siang. Sena duduk memunggungiku. Bersandar pada punggungku lebih tepatnya. Sibuk bermain game di ponselku. Sementara aku, aku hanya menikmati suasana ini. Cerahnya langit, suara jemari Sena yang memijit tombol-tombol ponselku, dan punggungnya yang menempel di punggungku. Suasana yang begitu menentramkan hati. Tak ada yang lebih menentramkan hati selain suasana ini, ketika akhirnya pepatah turun temurun itu berhasil kupatahkan dengan telak. Di sini lah aku, duduk dengan manusia yang begitu sempurna untukku. Di sini lah aku, lelaki yang pada akhirnya sukses menemukan manusia sempurna-ku di usia tiga puluh satu tahun. Menemukan manusia sewujud Sena. Sena...

“Om,” Sena menoleh padaku. Menampakkan wajah yang tidak kusuka. Sorot mata sedih yang tidak tampak seperti seorang Sena. Ia menyodorkan ponselku. Kubaca nama yang berkedip di sana. Nama yang tentunya menjadi alasan dari ekspresi lara Sena. “istrinya nelepon nih...”

Ah, Sena. Kenapa harus ada manusia seperti Sena di dunia saat aku malah telah sempurna? Kenapa harus ada manusia sesempurna Sena ketika aku justru telah berkeluarga? Kenapa?

Kuraih ponselku dari genggaman Sena. Segera berdiri dan menjauh darinya, dari Sena, si manusia sempurna yang tak pernah kusangka sungguh-sungguh ada di dunia. Si manusia sempurna yang terlambat kuketahui keberadaannya. Si manusia sempurna yang ternyata bukan takdirku untuk memilikinya...

“Halo... iya Mah, papah lagi di kantor...”

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata