hati bunda

Ciputat, 30 Juli 2011

Untuk kamu, yang percaya penuh bahwa hati memang cuma satu.

***

Pancaran mata bunda ketika menatap ayah selalu berbeda. Aku tahu itu. Sejak dulu, aku selalu tahu itu. Hanya, aku tak pernah mengerti, kenapa begitu?

Keluargaku adalah keluarga mini yang bahagia. Satu kepala keluarga, satu ibu, dan satu orang anak.Ayah dan bunda tak pernah terlibat pertengkaran serius. Satu-dua kali masih wajar, menurutku. Yah, dua kepala tak akan pernah benar-benar menjadi satu, bukan? itu pendapatku, pendapat dari gadis berusia duabelas tahun.

Setiap pagi, aku, ayah, dan bunda sarapan bersama. Ayahku seorang karyawan di sebuah bank swasta, sementara bunda adalah perawat di salah satu rumah sakit negeri yang lumayan besar di kota ini. Sesibuk-sibuknya bunda, beliau tak pernah absen memasak sarapan ataupun makan malam untuk aku dan ayah. Bahkan bunda juga selalu menyiapkan bekal untuk kami berdua. Bunda selalu bilang beliau mencintaiku sepenuh jiwa. Tak perlu dikatakan pun aku tahu hal itu, terlihat jelas dalam pancaran mata bunda yang kecokelatan. Pancaran mata yang sama seperti yang kulihat di mata ayah setiap kali beliau mengecup pipi bunda lembut sebelum berangkat kerja. Pancaran mata yang tak pernah kutemukan ketika bunda balas menatap ayah. Sepasang bibir bunda selalu tersenyum lembut pada ayah, tapi matanya berbeda. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Lain sekali..

Sejak kecil dulu, aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Kenapa bunda tak pernah mengatakan cinta pada ayah? Kenapa bunda tak pernah balas mengecup pipi ayah? Kenapa tidak semudah ketika bunda mengucap cinta padaku dan mengecup pipiku penuh kasih?

Satu waktu, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada bunda. Saat itu, ayah belum pulang kerja. Kami hanya berdua saja di rumah. Bunda sedang menyiapkan makan malam di dapur. Aku duduk di meja makan.

“bunda,”

“hmm?” bunda melirikku, “kenapa, sayang?”

“bunda.. sayang aku, ngga?”

Bunda tertawa, “tentu saja, sayaaang... bunda selalu sayang sama kamu. Sepenuh jiwa. Bahkan bunda rela mengorbankan seluruh hidup bunda demi kebahagiaan kamu.” Bunda menatapku lekat-lekat. Dadanya naik sebentar lalu bunda tersenyum, kulihat sebersit kesedihan dalam matanya, “kamu satu-satunya.” Bunda menambahkan.

“bunda.. sayang ayah?”

“sayang, dong!” bunda tersenyum, “kok tumben nanya-nanya begitu? Kamu.. lagi suka sama temenmu yaaa?”

“bukaaan, bundaa!”

“aah, kalau suka juga ngga apa-apa kok..” bunda tersenyum lagi. Aku lekas menghampiri bunda, berdiri tepat di sampingnya.

“kalau bunda, seberapa sayang sama ayah? Lebih sayang aku atau ayah?”

Bunda tidak melirikku kali ini. Beliau menatap lurus-lurus pada cabai-cabai yang sedang diirisnya tipis-tipis. “rasa sayang kadang tak bisa diukur, melodi..”

Aku tertegun sesaat. Jika bunda sudah menyebut namaku, biasanya itu penanda bahwa beliau serius.

“satu hari, kamu akan mengerti, melodi. Bahwa hati bunda cuma satu. Hatimu juga satu. Hati ayahmu juga satu. Setiap orang cuma punya satu hati, melodi..” Bunda bicara tanpa menatapku sedikitpun. Matanya tetap tertuju pada cabai-cabai di talenan kayu meja dapur kami. “..kamu akan mengerti bahwa setiap orang berhak menitipkan hatinya pada seseorang lainnya. Kamu akan paham bahwa beberapa yang beruntung akan saling menitipkan hati mereka untuk disimpan. Kamu akan paham bahwa lebih banyak lagi yang kurang beruntung, yang menitipkan hati pada orang lain yang telah memberikan hatinya pada seseorang lain..”

Aku diam. Tak paham sepenuhnya pada kata-kata bunda. Bunda menghela napasnya. Menoleh padaku. Mengecup kepalaku dengan lembut, lantas bunda tersenyum.

“hati bunda cuma satu, melodi. Jauh sebelum ayahmu datang memberikan hatinya, milik bunda sudah dibawa pergi orang lain dan tak pernah bunda minta kembali.”

Aku tetap diam. Aku tak mengerti kata-kata bunda. Jadi, apa alasan pancaran mata bunda yang berbeda itu? Kenapa begitu?

Seolah mengerti isi kepalaku, bunda lalu tertawa. “satu hari, kamu akan mengerti kata-kata bunda saat ini, sayang..”

“jadi, sebetulnya bunda lebih sayang aku atau ayah?”

Bunda memelukku dengan gemas, “kamu datang dari rahim bunda, kamu penghubung dua jiwa yang sama-sama menahan duka, kamu yang memberi kami kebahagiaan yang sama, tentu saja bunda sayaaaaaaaaanng sekali sama kamu, melodi!” bunda mengecup pipiku, “seratus persen!!!”

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata