tentang dia: satu

Ciputat, 21-22 Agustus 2011

Tersenyumlah. Kau dan aku adalah satu. Untuk itu, hidup bersama sudah tak lagi perlu...

***

Dia tersenyum di depan pintu kamarku. Membawa dua kaleng kopi. Sungguh aneh melihatnya tampak begitu ceria kali ini. Keanehan yang sempat membuatku lupa untuk mempersilakan dia masuk.

“apakah kita hanya akan berdiri di depan pintu kali ini?” katanya lembut. Masih tetap tersenyum.

Kamu sakit?

Dia menggeleng. Melenggang masuk ke kamarku dengan santai. Tidak terburu-buru seperti hari-hari yang lalu. Meletakkan kedua kopi kalengnya di meja kerjaku, lantas duduk di kasurku. Aku memilih duduk di kursi kerjaku. Memandangi dia yang... berbeda.

Ada apa kali ini?

“Aku sedang bahagia.” Dia tertawa kecil, “betul-betul bahagia. Kautahu, aku telah bertemu dengan Tuan-Yang-Tepat! Tuan yang hanya ada satu di dunia. Tuan yang tak perlu kaumiliki, tapi sudah cukup membuatmu bahagia hanya dengan mengetahui bahwa dia ada. Itu saja. Apa ya istilahnya... hmmm...”

Jodoh, mungkin?

Dia menggeleng berkali-kali dengan dahi berkerut dan bibir menguncup, “bukan bukan... lebih kepada... apa ya... hmm...” dia terlihat berpikir sebentar, lalu wajahnya kembali cerah, sejurus kemudian berbisik dramatis, seolah tak mau didengar orang lain, “...belahan jiwa.”

Aku terbahak. Sungguh tak mengira di jaman sehebat ini masih ada gadis yang percaya pada belahan jiwa. Gelak tawaku terhenti saat kulihat dia menatapku dengan sinis. Jadi kali ini... serius?

“Terakhir kali, kaubilang, aku akan bertemu dengan yang nyata. Dan...” dia kembali tersenyum, “kurasa ini yang nyata...”

Nyata. Ya. Kubilang pada dia bahwa dia akan bertemu dengan yang nyata. Tapi maksudku nyata yang bisa dimiliki. Nyata yang bisa mengasihi. Nyata yang benar-benar nyata. Bukan hanya bisa dipandangi dari jauh dan dirasakan kehadirannya. Ah, kenapa jalan hidupmu begitu menyedihkan, gadis? Kenapa, kau selalu menikmati tiap kesedihan yang menimpamu, gadis? Kenapa?

Dia melipat kakinya, menautkan jari-jemari tangannya. Tersenyum dengan begitu tulus sambil memandangi jari-jemarinya itu. Wajah bahagia yang justru membuatku lara.

“kautahu, aku selalu yakin bahwa tiap manusia di dunia dilahirkan berpasangan-pasangan. Kaubisa berjodoh dengan banyak orang, tapi Tuhan hanya menciptakan satu orang dengan frekuensi jiwa selaras jiwamu. Hanya satu orang. Hanya satu-satunya.” Dia mengalihkan matanya kepadaku, sepasang mata yang menyembunyikan berjuta kesedihan dengan pancaran kebahagiaan yang menyilaukan, “kautahu kisah Adam dan Hawwa? Kurasa, begitulah kita diciptakan. Kita dikirim ke bumi secara terpisah. Kita harus berjuang melacak keberadaan pasangan kita. Lalu, semua perjuangan itu akan ditutup dengan sebuah pertemuan mengharukan. Pertemuan yang membahagiakan. Sayangnya, di masa ini, sudah tercipta begitu banyak manusia. Tidak seperti Adam dan Hawwa, kita kadang tidak sabaran. Kita tidak sadar bahwa di belahan bumi lain, ada satu jiwa yang juga sedang mencari. Ketika bertemu dengan satu yang sepertinya selaras, kita segera memutuskan untuk mengikatnya. Kita yang terlalu takut kehilangan...” Dia tersenyum lagi. Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, “kita yang terlalu takut kehilangan dan malah melewatkan sosok yang selama ini kita cari-cari. Tapi, bagiku, apapun kondisi yang kita hadapi saat pertemuan itu... semua tetap terasa menyenangkan. Karena, kita satu. Karena, ada benang tak kasat mata yang akan selalu menghubungkan kita. Benang yang akan tetap terhubung, tak peduli dengan siapa kita menghabiskan hidup...”

Aku bergegas mencari tissue, takut dia akan menangis tiba-tiba. Seperti tiap kali dia bercerita seserius ini. Tapi, dia malah tertawa. Memintaku menghentikan pencarian.

“apa aku terlihat seperti akan menangis kali ini?” dia semakin tergelak, “sudah kukatakan tadi, aku sedang bahagia!”

Bahagia karena bertemu belahan jiwa yang sudah terikat dengan orang lain?

Dia mengangguk dengan penuh semangat. Anggukan yang membuatku kembali ingin merengkuh dirinya dalam pelukanku. Sungguh lebih baik melihatnya menangis tersedu-sedu ketimbang tertawa bahagia seperti ini. Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang tertawa karena hal miris semacam itu? Ya Tuhan!

“Hei, ini tetap membahagiakan bukan? Bayangkan, berapa banyak manusia beruntung yang bisa menemukan belahan jiwanya di dunia? kebanyakan dari mereka malah tersesat selamanya. Tapi aku, aku mendapat kesempatan bertemu dengannya. Mendapat kesempatan untuk menatap sepasang mata yang tersenyum itu, sepasang mata yang membisikkan kalimat yang kuucap dalam hati: bagaimana bisa ada manusia seperti dirimu di dunia?” Dia berdiri. Berjalan dengan anggun menuju jendela kamarku. Dia memandangi angkasa yang biru sekali hari ini. Tak nampak arakan awan menutupinya. Lalu, dia menoleh padaku sambil tersenyum, tangan kanannya membentang ke luar jendela, “lihatlah... indah, bukan?”

Ya...

Ya. Kini aku mengerti kenapa dia bisa sebahagia itu. Kenapa dia bisa tersenyum setulus itu. Lantas, aku pun tersenyum.

Ya. Indah sekali...

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata