PATAS

PATAS. Cepat dan terbatas. Puluhan tahun menyelami dunia perpatasan, aku menjadi saksi sebuah peradaban. Peradaban di atas patas. Pernahkah kauperhatikan, peradaban yang aku bicarakan?

***

Matahari makin terasa menggigit kulit kondektur yang tak henti meneriakkan tempat-tempat perhentian penumpangnya. Sementara mata si supir kian menyipit. Silau melihat jalanan di hadapannya. Tengah hari yang seharusnya lebih enak dinikmati dengan duduk santai di halaman rumah, atau mungkin lelap di atas kasur busa kualitas rendah, terpaksa harus mereka isi dengan bolak-balik melintasi kota Jakarta. Dua manusia yang usianya sudah di ujung senja. Lihat saja rambut putih yang telah menguasai kepala mereka, ditambah kerutan kulit yang semakin memperjelas usia keduanya. Para kakek yang tak sepantasnya narik patas. Aku pernah mendengar seorang penumpang yang iseng bertanya pada si supir,

“Pak, umurnya berapa?” 

Sambil tetap serius mengemudi, si supir menyahut asal, “waduh, saya lupa!”

Si penumpang terkekeh pelan, kembali bertanya, “enampuluh, ada Pak?”

“Kayaknya lebih, mas!”

“Umur segitu masih nyupir, Pak?” si penumpang terlihat takjub, tampak tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tapi, dapat kulihat kekaguman di kedua matanya. Lantas ia memuji, pujian sungguhan, bukan basa-basi. “Hebat!”

Si supir hanya tertawa.

Kami mulai memasuki terminal bus. Puluhan orang sudah berkerumun di depan taman dekat terminal dan bersiap untuk berebut naik. Beginilah, bus tua yang tetap menjadi idola karena ongkosnya ekstra murah. Cukup membayar dua ribu rupiah kau akan sampai di pinggir luar kota Jakarta. Hanya, untuk dapat menikmati kursi yang sesungguhnya sudah robek di sana-sini, kau harus saling sikut di antara penumpang lain yang juga ingin duduk. Bayaran yang sesuai? Ah, tidak juga! Kau tahu berapa setoran yang harus dibayarkan kedua kakek itu kepada pemilik bus dalam satu hari? Mereka harus memberi tujuh ratus ribu rupiah! Jumlah yang setara dengan tujuh kali bolak-balik kalau bus penuh sesak. Hanya jika penuh sesak. Padahal waktu yang dibutuhkan untuk satu kali perjalanan kurang lebih dua jam. Belum lagi kalau macet, kalau penumpang sepi, kalau ditilang polisi, dan kalau-kalau yang lainnya.  

“Blok M habis!!! Blok M habis!!! Yang turun lewat depan semua!!!” Suara si kondektur yang serak menggiring penumpang di atas patas bergerak menuju pintu depan. Satu-dua penumpang yang ingin naik mulai melompat lewat pintu belakang. Sebagian menyerbu pintu depan. Saling dorong di depan pintu selalu terjadi di saat-saat seperti ini. Semua ingin duduk. Tak ada lagi istilah ladies first. Mungkin karena pengaruh emansipasi wanita yang sering digaungkan itu.

“Yang turun dulu!!! Yang turun dulu!!!” Si kondektur berteriak-teriak dengan frustasi. Namun, tak satupun acuh pada teriakan itu. Semua sibuk saling dorong, saling sikut. Kadang aku khawatir ada tangan-tangan pencari kesempatan di kerumunan itu. Tapi tampaknya hanya aku yang khawatir. Pedagang minuman di pinggir taman cekikikan melihat itu. Pengamen dan preman-preman di situ pun ikut cekikikan, kadang mengeluarkan celetukan-celetukan iseng.

“Ayo semangat! Semangat!”
“Tuh, di belakang ada bus lagi!”
“Awas kakinya ketuker!!”

Tak sampai sepuluh menit, semua penumpang telah memenuhi patas. Malah ada pula yang berdiri, tak kebagian kursi. Penumpang yang baru turun tampak bersungut-sungut karena dandanan mereka berantakan. Mengumpat pada penumpang beringas yang naik barusan. Mereka lupa bahwa mereka pun sama tiap kali akan naik patas idola itu. Beringas.

Si kondektur tampak memberi beberapa lembar ribuan ke preman di situ. Istilahnya, uang keamanan. Tak menunggu lama, si supir segera menginjak gas lagi. Siap meninggalkan terminal dan berangkat menuju pinggiran kota Jakarta. Si kondektur sigap meminta ongkos para penumpang.

“Ya, permisi bapak-ibu-tuan-nyonya-kakak sekalian. Lapar, Pak. Lapar, Bu. Lapar, Tuan. Lapar, Nyonya. Kami di sini mau ngamen, Tuan. Mau ngamen, Nyonya. Daripada nodong, nyuri, atau jual narkoba. Lebih baik kami jual suara...”

Ahh, ini dia yang tak kusuka. Sekumpulan anak punk jalanan yang berpakaian belel dan tak jelas modelnya. Aroma tubuhnya sangat khas. Campuran antara bau keringat, bau sengatan matahari, ditambah minus mandi berhari-hari: sempurna! Kulihat penumpang yang mual tampangnya. Mungkin sejujurnya ingin menutup hidung mereka, tapi takut menyinggung anak-anak punk tersebut. Mana tahu mereka mengantongi pisau lipat atau semacamnya.

Si kondektur masih menyusup-nyusup di antara anak-anak punk dan para penumpang yang berjejalan, mengumpulkan lembar demi lembar uang ribuan, diiringi suara telapak tangan diadu berikut nyanyian parau yang makin bikin panas suasana di dalam patas. Patas tersendat di lampu merah. Antrian yang bikin macet. Oh, bukan. Tepatnya lebih ke macet yang bikin antrian panjang kendaraan sebelum lampu merah. Kulihat salah satu penumpang menghela napasnya. Mungkin sudah hapal dengan skenario perjalanan patas ini. Macet di lampu merah pertanda macet sampai entah di mana. Mungkin sampai di tujuan akhir sana. Jika demikian, maka tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan berharap macet kali itu tak akan terlalu lama.

“Ya, demikianlah nyanyian kami, tuan dan nyonya, maaf bila kami mengganggu kenyamanan anda. Terima kasih atas bunga-bunga sosial yang anda berikan, ikhlas dari anda, halal bagi kami...”

Salah satu anak punk itu lantas ganti menyusup di antara para penumpang yang tak kebagian duduk, menengadahkan tangan kumalnya ke depan muka penumpang. Sementara yang lain lanjut bernyanyi parau sambil tepuk tangan dan si kondektur sudah bergelantungan lagi di pintu depan. Entah karena merasa terintimidasi oleh tatapan mengancam si peminta bunga-bunga sosial atau memang betul merasa kasihan, tak sedikit penumpang yang menjatuhkan receh di telapak tangan kumal si anak punk. Bikin mereka merasa cukup puas dan segera turun dari patas. Kulihat beberapa penumpang yang berdiri di sekitar mereka tadi cepat-cepat bernapas lega. Tampak bersyukur akhirnya hidung mereka terbebas dari aroma yang bikin mual.

Keheningan tak pernah berlangsung lama di dalam patas. Menit-menit berikutnya, secara bergantian, muncul penjual kacang dan permen jahe yang meletakkan dagangan mereka secara paksa di pangkuan penumpang yang kebagian kursi. Ada yang buru-buru memejamkan mata, pura-pura tidur agar si penjual tak meletakkan barang dagangan di pangkuan mereka. Ada yang terang-terangan menolak. Tapi, ada juga yang membiarkan si penjual meletakkan dagangannya di pangkuan mereka. Mungkin tak tega menolak. Tak berapa lama, giliran penjual tisu. Terakhir, penjual koran yang mengobral koran dagangannya karena hari mulai menjelang sore. Semua koran dihargai seribu rupiah saja. Sungguh kasihan, harga yang sudah sedemikian murah pun tetap tak membuat para penumpang tergerak untuk membeli. Hanya seorang bapak paruh baya yang membeli satu buah. Itupun cuma dibaca sekilas sebelum akhirnya koran tersebut ia jadikan kipas karena kebagian kursi di bagian yang tak berjendela.

Perbatasan kota akhirnya kami lewati setelah menempuh satu setengah jam perjalanan. Belum, ini belum selesai. Tujuan akhir masih lumayan jauh. Penumpang yang duduk banyak yang terlelap. Sementara yang berdiri sibuk melirik kanan-kiri, berharap ada yang turun dan mereka bisa mengistirahatkan kaki yang tentunya mulai terasa pegal.

Aku terbatuk satu kali. Si supir tetap memacu. Aku terbatuk lagi. Mesin patas mati sebentar. Patas terguncang sedikit. Terdengar jerit-jerit tertahan di dalam patas. Penumpang yang lelap bangun karena terbentur kursi di depannya. Penumpang yang berdiri lekas mencengkram erat besi di langit-langit patas. Beberapa yang kurang tinggi berpegangan pada sandaran kursi. Si supir menghidupkan mesin lagi. Beruntung, si mesin tua mau dipaksa kerja lagi. Ada desah lega dari mulut para penumpang. Mereka tak melihat raut kekhawatiran di wajah supir dan kondektur patas. Khawatir patas akan mogok seperti hari yang sudah-sudah kalau si mesin sedang kumat.

Aku mulai terbatuk-batuk lagi. Deru mesin semakin terdengar mengaduh. Seakan letih dipaksa berlari. Asap kehitaman keluar dari pantat patas. Bau mesin meruap dengan cepat. Para penumpang mulai panik, menoleh kiri-kanan. Tampak takut mesin akan meledak. Beberapa segera menutup hidung mereka. Si supir masih memaksa mesin untuk kerja.

“Pak, udah, Pak!” Seorang kondektur dari koantas bima yang sejajar dengan kami berseru dengan tampang prihatin. Ia mengibaskan tangan ke depan hidungnya, “mesinnya udah bau, Pak!!”

Si supir menoleh. Aku tahu dalam hati ia setuju dengan si kondektur itu. Tapi, apa daya. Kami memang belum sampai di tujuan akhir. Tentu penumpang akan kesal sekali jika harus menyambung angkot agar sampai di tujuan akhir.

“Woi, Pak! Berasap tuh, Pak!” Seorang pengendara motor ikut meneriaki si supir.

Sungguh, aku benar-benar tak tega melihat wajah si supir dan kondekturnya. Para penumpang mulai rewel dan malah minta diturunkan. Aku makin berusaha untuk melaju meski susah. Aku malah batuk hebat sebelum akhirnya mesin mati total. Asap keluar makin banyak dan baunya kian tak tertahankan. Si supir menoleh ke rekannya, kondektur di pintu yang akhirnya meminta semua penumpang turun. Beberapa lumayan kesal, tapi yang lain justru merasa kasihan pada sepasang kakek itu. Seorang ibu malah sempat berhenti sebentar sebelum turun, “Mogok ya, Pak?” katanya dengan nada prihatin yang tulus.

Si supir tersenyum getir, mungkin teringat pada setoran yang bakal berpindah ke bengkel mobil, lantas mengangguk pelan. “Iya, maaf ya, Bu.”

Ahh, sungguh, aku merasa bersalah karena tak lagi sekuat dulu. Ya, aku memang sebuah patas yang tak lagi cepat, sebuah patas yang hanya meninggalkan keterbatasan dalam jejak.

***

Patas. Tak lagi cepat meski semakin terbatas. Puluhan tahun aku menjadi saksi sebuah peradaban di atas patas. Pernahkah kau perhatikan peradaban yang kubicarakan? Perhatikanlah! Sebelum aku dilepas satu per satu dan dijual ke pengepul besi rongsokan.

***

Ciputat, Maret 2011.

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata