Jika.
Jombang, 11 Januari – 25 Februari 2019
Cukupkanlah ikatanmu.
Relakanlah yang tak seharusnya
untukmu.
Yang sebaiknya kaujaga adalah...
Dirimu sendiri...
(Kunto Aji – Sulung)
***
Sebuah lingkaran emas seukuran jari berkilau cantik di atas telapak
tanganku: Cincin Tunangan. Aku
memandanginya seperti Smeagol menatap cincin Sauron. Ini adalah sesuatu yang
paling berharga di dalam hidupku. Sesuatu yang paling berharga dalam tiga puluh
tahun kehidupan yang telah aku lewati. Aku bahagia. Tentu saja aku bahagia. Bulan
depan aku akan resmi menjadi seorang Nyonya. Seorang Nyonya bagi lelaki yang
aku cintai. Bagaimana aku tidak bahagia? Seharusnya aku bahagia, bukan? Sudah
sepantasnya aku bahagia, kan?
Tiga bulan yang lalu, lelaki ini melamarku. Sebuah adegan klise seperti
di film – film televisi yang sering kupertanyakan keberadaannya. Malam itu, kami
sedang merayakan hari pertemuan kami di tahun kedua. Kami duduk di restoran
yang sama, di nomor meja yang sama pula. Dua tahun bersama, baru malam itu aku
melihat dia begitu kikuk. Sesungguhnya, aku tidak terkejut sama sekali saat dia
merogoh saku kemeja dan mengeluarkan kotak beludru hitam mungil itu. Manusia
mana yang tidak akan menyadari sembulan di saku kemeja teman semejanya, bukan?
Singkat cerita, dia bilang dia ingin menghabiskan masa hidupnya bersamaku. Dia
ingin menjadi tua bersamaku. Dia ingin membina keluarga bersama. Saat itu, aku
merasa mencintainya. Tentu saja aku menerima lamarannya, malam itu. Lalu,
seperti biasa dia mengantarku pulang ke apartemen dan kami bercinta. Gairahnya
luar biasa, mungkin karena aku baru saja bilang, “iya mari kita menikah”.
Aku mencintainya. Aku yakin dia juga mencintaiku. Seminggu setelah dia
melamarku, keluarga kami bertemu. Rasanya hanya sekejap dan tiba – tiba kami
sudah disibukkan dengan mengurus segala macam persiapan pernikahan. Aku masih
mencintainya. Dia, kuyakin, masih mencintaiku.
Lalu, kami bertengkar tentang ini dan itu. Lalu, kami bercinta lagi.
Lalu, kami bertengkar lagi. Lalu, kami bercinta lagi. Semua orang bilang itu
adalah ujian menjelang pernikahan. Tapi, aku berani bersumpah jika itu bukan
pemicu munculnya pikiran gila di dalam kepalaku untuk membatalkan semuanya
detik ini juga. Semua persiapan yang akan kami nikmati bulan depan.
Aku mencintainya. Bahkan, aku menangis diam – diam setiap kali
membayangkan sebuah kehidupan tanpa dia sebagai pasangan hidupku. Tetapi,
kesedihanku itu justru semakin membuatku yakin untuk mengakhiri semuanya. Aku
mencintainya. Aku terlalu mencintainya hingga aku tidak ingin melukai hatinya.
Aku terlalu mencintainya hingga kuyakin hatiku tak akan sanggup disakiti
olehnya. Aku sungguh – sungguh mencintainya tetapi aku tidak yakin tentang
pernikahan kami. Aku tidak yakin terhadap diriku sendiri.
Lingkaran emas di telapak tanganku terasa panas membakar, panasnya merasuk
ke dalam pembuluh darah, panasnya menjalar hingga ke belakang tulang-tulang
rusukku. Panas sekali hingga ada yang meleleh keluar dari kedua mataku.
Kau mencintainya.
Hatiku berbisik lirih, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Tetapi, seberapa
keraspun usahaku untuk meyakinkan diriku sendiri, pikiranku tak henti bicara
untuk mengakhiri semuanya.
Kuletakkan lingkaran emas yang sejak tadi kupandangi lekat-lekat.
Kuambil pena dan kertas, lalu aku mulai menuliskan semua pikiranku ke atas
kertas...
Sayang, aku mencintaimu. Kau
tahu itu. Aku yakin kau pun mencintaiku sebanyak cintaku padamu. Aku ingin menghabiskan
hidup bersamamu. Aku ingin menjadi ibu dari anak-anakmu. Aku ingin menjadi nenek
dari cucu-cucumu. Aku sungguh-sungguh ingin menjadi sahabatmu seumur hidup,
teman kelahimu sepanjang masa, sobat makanmu hingga seluruh gigi tanggal, perawatmu
setiap kali kau sakit, aku ingin menjadi segalanya dalam hidupmu. Sungguh.
Tetapi, setelah melalui semua
persiapan ini, aku menyadari satu hal.
Aku telah kehilangan diriku
sendiri. Aku lupa bagaimana menjadi diriku sendiri.
Aku telah melebur denganmu, aku
dan kau telah melebur menjadi kita hingga tak ada lagi aku dan tak ada lagi
kau.
Aku merindukan diriku sendiri.
Aku merindukan aku yang tanpa ada embel-embel kau di dalamnya.
Aku mencintaimu. Jangan
membenciku, sayang. Aku sungguh-sungguh mencintaimu bahkan aku tak bisa menghentikan
aliran air yang terus merembes keluar dari kedua mataku, kedua hidungku..
Tetapi, jika kau bersedia,
bolehkah jika untuk saat ini, jika entah sampai kapan, kau dan aku tetap
menjadi kau dan aku? Bolehkah, jika kita tidak menjadi kita?
Aku mencintaimu. Demi Tuhan, aku
sungguh mencintaimu dan tak bisa membayangkan sebuah kehidupan tanpa kau di
dalamnya. Tetapi, jika kau bersedia.. hanya jika kau bersedia, bolehkah isi
pikiranku ini menjadi nyata adanya, sayang?
Kulipat kertas yang separuh lembab karena basah itu dengan baik. Lalu
kusimpan di dalam laci lemari bajuku. Kubiarkan isi pikiranku itu di dalam sana
untuk menunggu momentum yang tepat. Jika momentum itu datang, ia akan segera
kusampaikan pada calon suamiku tersayang.
***
Seorang laki-laki duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong. Sebelah
tangannya memegang secarik kertas yang lipatannya sangat rapi, sebelah
tangannya yang lain memegang sepasang buku bergambar depan garuda. Dia
mencintai istrinya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan yang akan
datang jika tak ada lagi istrinya yang dia cintai melebihi cinta untuk dirinya
sendiri. Tetapi, dia berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia membaca isi
kertas itu dua atau tiga bulan sebelumnya... jika dan hanya jika.
***
Comments
Post a Comment