wajah sedih

Rawamangun, 24-27 Mei 2011

Kamu, serupa nyeri berkepanjangan di lubuk hati paling dalam.

***

Seorang pria yang baru kukenal mengatakan, “melihat wajahmu itu, entah kenapa, aku selalu ingin menangis. Rasanya... sedih sekali. Kenapa ya?”

Hmm? Sedih bagaimana?

“seperti terenyuh, begitu... pokoknya bikin aku ingin menangis. Kenapa ya?”

Kenapa ya? Aku juga tak tahu... hahaha!

Setibanya aku di rumah, aku segera bercermin. Penasaran juga dengan kata-kata si pria yang tadi kutemui. Kupandangi bayang wajahku sendiri. Sepasang mata dengan lingkar hitam di sekelilingnya. Jerawat di sana-sini. Hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir yang sedikit hitam. Semuanya tampak normal. Tak ada kelainan yang bikin aku kelihatan menyedihkan. Pria itu hanya bergurau saja. Mulanya kupikir begitu. Tapi lalu, kulihat sesuatu dalam mataku. Ya! Ada sesuatu di dalam mataku! Kuperhatikan lekat-lekat sesuatu itu. Sesuatu... seseorang... dia tampak sangat menyedihkan. Dia mirip sekali denganku. Hanya tampilannya lebih sendu. Pipinya terlihat basah selalu. Dari sepasang matanya, mengalir air terus menerus. Dia meringkuk di sudut mataku. Menggenggam sesuatu. Kudekatkan wajahku pada cermin. Rupanya dia menggenggam sebuah foto. Foto yang tampak kumal. Separuh basah oleh air matanya yang terus jatuh itu. Kuperhatikan foto itu baik-baik. Nyaris aku terlonjak saat berhasil melihat sosok dalam foto dekil itu: kamu! Siapa dia?? Bagaimana dia bisa memiliki foto kamu? Kamu kah yang bikin dia tampak menyedihkan begitu?

Dia melirikku. Oh, Tuhan... betapa mata itu bikin aku ingin menangis juga! Mungkin, dia memang tak setegar aku. Mungkin, dia memang tak bisa menerima kenyataan bahwa kamu sudah punya kehidupan sendiri. Mungkin, dia memang tak sanggup menghentikan rindunya yang terus mencari kamu. Mungkin, dia tak mampu membelokkan pikirannya yang terus berlari ke arah kamu. Mungkin, dia terlalu... mencintai kamu. Cinta satu arah yang bikin lelah. Mungkin...

Ah, andai aku bisa membantu dia! Sungguh ingin kupeluk tubuh mungilnya yang menghela napas dengan sedemikian berat itu. Kuyakin, bukan oksigen lagi yang kini dia hirup, tapi kamu. Jika begitu, tentulah sakit sekali dada itu.

Kuperhatikan wajahnya dengan cermat kali ini. Lututku lemas ketika akhirnya, wajah itu berhasil kukenali...

Si pria, kembali berkata padaku ketika kami berjumpa untuk yang kedua kalinya, “melihat wajahmu, aku masih saja kepingin menangis! Begitu menyedihkan... seakan seluruh kebahagiaan telah terenggut dari dunia. kenapa ya?” si pria menatap wajahku lekat-lekat, “apakah kamu memang sedang bersedih sekarang?”

Aku menggeleng, tersenyum.

Kau tahu, aku sudah menemukan jawabannya.

Kutunjukkan sosok dia yang meringkuk di sudut mataku. Dengan pipi basah dan wajah merana luar biasa. Si pria tampak takjub melihat sosok dia di dalam mataku.

Bukan aku yang bersedih ternyata, tapi dia...

...Jiwaku.


***

Untuk kamu, yang senang berputar lama dalam satu lintasan yang sama: jangan menyiksa kakimu, sayang! Carilah lintasan lain yang bikin langkahmu lebih menyenangkan!

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata