suami orang: kopi.

Rawamangun, 03-10 Juni 2011

Dua pasang mata yang saling tatap dengan mulut terkunci rapat, lalu bicara dengan bahasa yang hanya mampu dimengerti oleh kalbu: Cinta.

***

Satu lagi kopi kaleng sengaja kutinggalkan di belakang jok supir bus langgananku sebelum aku turun. Setiap berangkat dan pulang kuliah, aku selalu naik bus yang sama. Bus yang hanya ada beberapa hingga aku tak jarang bertemu dengan dia. Si supir bus yang diam-diam kukagumi. Entahlah, aku tak tahu apa nama rasa ini. Jadilah kusebut saja: kagum.
Supir ini berbeda dengan supir bus lainnya. Dia tidak kasar, tidak grasak-grusuk, hampir selalu sopan, dan dia juga ramah. Tambahan lagi aku suka cara dia berpakaian. Dia tidak jorok seperti supir-supir metromini. Dia selalu memakai kemeja dan celana jins panjang. Bahkan, tak jarang dia juga memakai sepatu kets. Asesoris favoritnya, si topi hitam yang sering sekali dia kenakan. Ah, pokoknya aku sangat kagum pada dia!
“Kamu suka sama supir?!!” Salah seorang temanku mendelik ketika aku mengungkapkan kekagumanku pada dia. Aku mengangguk mantap sambil tertawa pelan. Merasa tak ada yang salah dengan rasa kagum itu. “Ngaco kamu!!” Temanku itu menggeleng-gelengkan kepala seolah aku baru saja mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada kera.
“Kamu itu mahasiswi, neng... cari dong yang sepadan!” temanku yang lain juga tak merestui ketika aku menanyakan pendapatnya.
Apa yang salah dari seorang supir?
“Yaa, emang sih, supir juga manusia. Tapi yang bener aja lah...atau, gini aja, lo cari yang mirip dia deh. Tapi mahasiswa juga. Gimana?”
“Supir?!!!” bunda syok sekali mendengar pengakuanku tentang rasa kagum pada dia. “Supir mana ada yang masih bujang, sayaaang...”
Aku frustasi. Tak ada yang merestui ternyata. Tapi, hati mana pernah peduli. Meski semua orang melarang, toh akhirnya aku tetap mengagumi dia juga. Setiap pagi, kusesuaikan jam berangkatku dengan jam dia beroperasi. Untuk pulang, kuserahkan pada Tuhan saja. Berharap Tuhan berbaik hati dan berkenan mempertemukan aku dengan dia.
Perlahan, rasa kagum itu mulai terasa kian berlebihan. Sepertinya, rasa kagum itu mulai bermetamorfosis menjadi rasa yang lain. Tumbuh semakin mengerikan. Menghantui hari-hariku dengan keinginan untuk bertemu. Semakin menakutkan. Menghadirkan dia dalam bunga-bunga tidurku tiap malam. Oh, Tuhan! Jodohkanlah aku dengan dia!
Lalu, mulailah aku meninggalkan satu demi satu kopi kaleng di belakang jok supir. Separuh berharap, dia sadar bahwa aku lah yang meletakkan kopi kaleng itu. Sangat berharap, dia sadar bahwa aku ada. Ada dan merasa...
Satu hari, kupandangi dia lekat-lekat dari spion kecil di atas kepalanya. Dia tidak tampan. Tidak pernah tampan. Rasa ini ada memang bukan diawali oleh ketampanan. Bukan. Tidak sedangkal itu...
Aku pastilah masih menancapkan mata di spion itu kalau saja dia tidak melirik tiba-tiba. Jantungku berdesir. Cepat-cepat kualihkan mataku ke jendela bus. Berpura-pura saja sedang asik memandangi jalan. Panik sekali rasanya!
Bus berhenti di tujuan akhir. Aku memilih turun paling terakhir. Seperti biasa, untuk meninggalkan satu kopi kaleng di belakang jok supir tanpa ketahuan. Aku berjalan menuju pintu keluar bus dengan wajah polos. Seolah tak melakukan kejahatan sebelumnya. Dan, suara itu terdengar...
“hei, kopi!”
Langkahku terhenti di pinggir tangga bus. Tepat di sebelah dia. Apakah telingaku tidak salah dengar?
“kamu, yang selalu ninggalin kopi kaleng di jok saya kan?”
Aku menoleh perlahan. Telingaku betul-betul tidak salah dengar?
“Iya, kamu.”Dia menyunggingkan bibirnya, dia tersenyum! “kamu kan, yang selalu taro kopi kaleng itu?”
Aku tersenyum takut-takut. Akhirnya, mengangguk pasrah. Ketahuan sudah. Ah, bukankah ini lah yang aku harapkan sebelumnya?
Dia memintaku kembali duduk. Sebentar saja, katanya. Aku duduk dengan gugup sekali. Dia memandangiku lamat-lamat. Lalu matanya beralih pada sekaleng kopi yang sedari tadi digenggamnya.
“Terima kasih ya. Terima kasih untuk kopi-kopi itu.” Dia tersenyum lagi, “tapi, maaf...”
Maaf untuk apa?
“Saya merasa tak pantas menerima kopi-kopi itu.” Dia masih tersenyum. Jantungku berdegup cepat. “Saya yakin, banyak laki-laki lain yang lebih membutuhkan kopi-kopi itu dibanding saya. Bukan saya. Kamu...masih kuliah, kan?”
Aku mengangguk pelan sekali. Sedih rasanya ketika rasamu ditolak.
“Nah, lihat...kamu masih kuliah. Sementara saya, saya sudah berkeluarga. Punya seorang istri dan dua orang anak. Kopi-kopi itu... betul-betul tidak pantas saya terima dari kamu.” Dia tetap tersenyum, aku sibuk mencerna kata-katanya. Keluarga...istri...anak...keluarga...istri...
Anak?
Dia mengangguk.
Kata-kata bunda kembali terngiang di kepalaku, “Supir mana ada yang masih bujang, sayaaang...”
Kupandangi dia sekali lagi. Berharap dia tertawa lalu bilang semua ini hanya bercanda. Sebuah lawakan untuk mengejutkanku saja. Tapi, dia tetap bergeming. Masih tersenyum, memandangi sekaleng kopi pemberianku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah itu adalah sewujud pecahan asteroid dari luar angkasa yang jatuh tiba-tiba. Kuputuskan untuk segera pamit pulang saja. Terbayang bahwa lelaki di hadapanku ini adalah suami orang rasanya begitu... ah!!!
Baru kulangkahkan kaki menuruni satu tangga bus, dia memanggilku lagi, kutahan rembesan air yang nyaris bocor dari kedua mataku sebelum menoleh perlahan padanya.
Ya?
“kamu... tetap naik bus ini, kan?”
Kupaksakan bibirku untuk menyungging, lalu mengangguk pelan.Tetap naik bus, tetap bertemu dia meski tak akan pernah bisa memiliki, tetap memandangi, tetap...tetap... ya, aku memilih tetap begini saja. Biar rasa ini mati sendiri pada waktunya nanti.
Entah kapan.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata