Jumat Kiamat

Ciputat, 06-07 November 2011

Aku telah mati pada hari kiamat.

***

Dia memandangi selembar buletin agama yang baru saja ia dapatkan dari seorang pria berbaju koko putih yang sudah kumal. Selembar buletin yang terasa mengusik pikirannya. Dia baca lagi judulnya yang dicetak dengan huruf kapital ekstra besar:

KIAMAT DATANG PADA HARI JUMAT

Sejujurnya, dia enggan membaca seluruh isi buletin tersebut. Merasa percuma. Toh, sudah sejak lama ia memang percaya bahwa kiamat datang pada hari Jumat. Sejak kiamat berkunjung padanya. Bertahun-tahun lalu. Kiamat yang membunuh jiwanya. Jiwa yang bahkan belum sempat tumbuh.

Hari itu, hari Jumat. Dia masih berseragam putih-abuabu. Duduk mengerjakan PR dengan serius. Dia yang terlalu tak acuh untuk menyadari bahwa lelaki yang berlutut di hadapannya bersungguh-sungguh. Dia melirik lelaki itu dengan tatapan jengah. Hari itu dia sedang tak mau diganggu. Sebuah keinginan fatal yang dikabulkan Tuhan. Selamanya dia akan tidak terganggu. Istirahat dalam damai.

Lelaki yang berlutut di hadapannya, berusaha menggenggam tangannya. Usaha si lelaki terhenti ketika berkali-kali dia menepis tangan lelaki itu. Dia juga menghadiahi lelaki itu sebuah pelototan tajam. Seakan dia akan menelan lelaki itu hidup-hidup jika si lelaki tak segera beranjak dari hadapannya.

Lelaki itu tersenyum, lantas berbisik pelan, “Be mine. Be my lover. Would you? 

Dia berusaha mencerna kalimat yang keluar dari mulut si lelaki. Memastikan bahwa sepasang telinganya memang tidak salah dengar. Lover? Sebuah kata yang terlalu absurd untuk ia dengar dari mulut lelaki yang selama tiga tahun ini menjadi teman kelahinya di sekolah. Dia tertawa. Mencaci si lelaki, memaksanya untuk pergi.

“Gue lagi ngga mau diganggu, you know..”

Tapi, si lelaki bergeming.

Be mine. Be my lover. Would you?” sekali lagi, si lelaki mengulang kalimatnya.

Dia diam cukup lama kali ini. Tapi terlalu sebentar untuk pengambilan sebuah keputusan fatal. Dia tak menampik bahwa dia sungguh jatuh hati pada lelaki di hadapannya itu. Lelaki yang selalu ada untuknya selama tiga tahun. Lelaki yang memiliki frekuensi otak yang sama dengannya. Lelaki itu bagai sebuah antena baginya, sementara dia adalah radionya. Tanpa lelaki itu, dia tak bisa bersuara. Tanpa dia, lelaki itu tak berarti apa-apa. Hanya, dia merasa tahu bahwa si lelaki hanya main-main saat itu. Lagipula, komitmen mereka sudah jelas: tak mungkin jadi sepasang kekasih, kecuali hanya kau yang tersisa di dunia. Komitmen anak sekolah ingusan yang tak paham betapa sebuah cinta sungguh langka di dunia. Betapa sebuah cinta sejati hanya ada satu di dunia.

Please, gue lagi ngga mau diganggu.”

Kini giliran lelaki itu yang diam cukup lama. Memandangi dia yang berwajah tak bersahabat. Lelaki itu lalu tertawa, berdiri dan menepuk kepala dia pelan. Dia kembali sibuk dengan PR nya. Tak menyadari, sebuah kiamat kecil baru saja terjadi.

Hari itu, hari Jumat. Dia tergesa kembali ke kelasnya. Dia mendapat kabar buruk. Katanya ada yang menyatakan cinta di kelasnya. Lalu, sebuah sambaran hebat menghajarnya di depan pintu kelas. Dia tak mampu berbuat apa-apa. Cuma bisa memandangi si lelaki, yang pada hari Jumat berminggu-minggu lalu berlutut di hadapannya, sedang memberikan sekuntum bunga mawar merah pada seorang gadis. Gadis yang tak asing bagi dia. Seorang sahabat dari masa lalu. Sahabat.

Dia merasa lututnya bergetar hebat. Seolah kehilangan daya untuk menopang tubuhnya. Dia tahu, dia menangis meski tak kasat mata. Air matanya tumpah meski tak terlihat sama sekali. Dia berbalik, melangkah cepat menuju entah. Dia hanya ingin enyah secepatnya dari tempat terkutuk itu. Hari itu, hari Jumat. Baginya, kejadian itu adalah sebuah kiamat. Pada hari itu, jiwanya mati. Tersambar petir yang begitu dahsyat: menyaksikan lelakinya menjadi kekasih dari sahabatnya sendiri. Hebat...

Dia meremas buletin agama yang sukses membawanya kembali ke hari kiamatnya. Hari kematian jiwanya. Hari yang membuatnya enggan mengikuti arus waktu. Hari yang menghancurkan segalanya. Hari yang membuatnya merasa, hidup sendiri adalah hak setiap manusia. Dia tak mau tersakiti lagi. Dilemparnya gumpalan kertas itu ke tong sampah di sebelah kursi halte yang dia duduki. Lantas dia berdiri, menghentikan sebuah taksi.

***

“Dek, tadi ada undangan dari temenmu tuh.. aku taruh di meja riasmu.”

Dia melepas sepatu. Bergegas ke kamarnya. Sebuah undangan selalu membuatnya berdebar-debar. Membuatnya jadi bertanya-tanya sendiri, kapan namanya akan tercetak pada sebuah undangan pernikahan?

Sebuah undangan berwarna cokelat dengan balutan pita merah marun tergeletak di atas meja riasnya. Dia meraih undangan itu, membolak-baliknya sebentar. Lalu, dia membaca nama mempelainya. Mendadak kepalanya terasa berputar. Kepingan memori masa SMA nya muncul satu per satu. Dia melirik kalender kecil di sebelah meja riasnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Berharap kali ini setidaknya akan ada yang berbeda... 

NOVEMBER 2011
JUMAT
11

Be mine. Be my lover. Would you?

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata