suami orang: tabu

Ciputat, 5 November 2011

Aku bermimpi, kau dan aku mati terbunuh tabu.

***

“Aku mencintai kamu.”

Satu hari kau katakan itu padanya. Saat itu, nyaris tengah malam. Kalian duduk di kolong jalan layang. Jalanan begitu lengang. Hanya temaram lampu jalan yang menemani kalian. Kau yang kata orang bajingan, nyatanya mengatakan itu tanpa menggenggam tangannya. Ah, bahkan kau hampir tidak pernah menyentuhnya. Kaubilang dia terlalu berharga untuk dikotori oleh tangan-tangan berpeluhmu. Kau hanya menatap matanya. Sepasang mata yang bikin dia bertanya-tanya di dalam kepala, cinta seperti apa yang kaumaksudkan?

Apakah seperti cinta dalam kisah-kisah roman klasik? Hingga kalian harus mati hanya untuk bahagia berdua di alam sana? Apakah seperti cinta dalam negeri dongeng? Hingga semesta membela kalian habis-habisan dan menghilangkan semua penghalang lalu hidup bahagia selamanya?

“Cinta seperti apa.. yang kaumaksudkan?” Dia akhirnya meludahkan isi kepalanya. Dia yang entah sejak kapan memang telah ragu padamu. Kau yang kata orang, berandalan.

Kau diam sesaat. Mengalihkan pandangan pada kekosongan jalan. Andai jalanan itu akan tetap begitu selamanya, pikirmu saat itu. Kosong tanpa kendaraan yang lalu lalang. Kosong. Agar kaubisa menyebranginya tanpa takut disambar mobil yang kebut-kebutan. Andai..

“Cinta yang sederhana. Cinta yang hadir begitu saja. Cinta yang tidak dipaksa. Cinta yang tak peduli apa-apa. Tak peduli siapa-siapa. Tak peduli pada kata-kata yang menusuk telinga. Cinta yang..tak akan pernah mati. Cinta yang akan tetap ada meski kau dan aku tak lagi bersama..”

Hening berkuasa setelah kaututup lagi mulutmu rapat-rapat. Masih memandangi kekosongan jalan. Kau tak pernah merayunya. Sama sekali tidak pernah. Dia tergugu karenanya. Dia tahu, itu bukan rayuan. Dia tahu, itu sungguhan. Dia tahu, karena apa yang kaukatakan telah lama dibisikkan oleh hatinya. Perasaan yang sama dengan apa yang dia rasakan.

Ada aliran hangat dari matanya. Dari sepasang mata yang kini memandangimu lekat-lekat. Sungguh ingin dia memeluk tubuhmu, rebah sebentar dalam bidang dadamu. Menjadi milikmu. Memilikimu. Tapi, dia tahu, kau akan menolak. Sama seperti hari yang sudah-sudah. Seperti apa yang kaukatakan dulu:

Kau terlalu berharga untuk dikotori oleh tanganku yang berpeluh. Kau berbeda. Kau tak boleh ternoda. Kau harus terjaga hingga tiba waktunya seorang pria meminangmu. Seorang pria lajang dengan pakaian wangi, kendaraan bersih, dan lebih dari sanggup untuk membelikanmu segalanya. Bukan aku. Lelaki pekerja serabutan yang bahkan..

Kita memang tak akan bersama, bukan? Kita memang tak mungkin ada, bukan?” Suaranya mengusir hening yang tak kausuka. Suara yang malah terasa lebih menyiksa dari hening yang tak kausuka. Kau masih memandangi jalan. Masih berharap jalan itu akan kosong selamanya. Hanya berharap.

Kita sudah lama telah tiada. Bukan kau yang membunuhnya. Bukan juga aku yang membunuhnya. Tapi, tabu..” Kau menoleh padanya, merekam wajah yang mungkin tak akan pernah bisa kaulihat lagi, sungguh ingin kaususutkan aliran dari matanya itu. Memintanya tersenyum, atau bahkan tertawa. Agar wajah bahagia itulah yang selamanya akan kauingat. Bukan.. airmata.

“Kuharap.. kita bahagia di alam sana.”

Dia tersenyum. Mengusap pipinya yang basah, lalu berdiri, berpaling dan melangkah pergi. Perempuan pertama dan satu-satunya yang meninggalkanmu sendiri di kolong jalan layang itu. Kolong jalan layang yang sama seperti saat pertama kauberjumpa dengannya. Perempuan yang kauanggap sebagai hukuman dari Tuhan untukmu. Untuk dirimu yang selalu menganggap perempuan sebagai sebuah kesenangan semata. Perempuan yang mengajarimu tentang arti cinta. Perempuan yang.. sungguh kaucinta.

Kau terlalu berharga untuk dikotori oleh tanganku yang berpeluh. Kau berbeda. Kau tak boleh ternoda. Kau harus terjaga hingga tiba waktunya seorang pria meminangmu. Seorang pria lajang dengan pakaian wangi, kendaraan bersih, dan lebih dari sanggup untuk membelikanmu segalanya. Bukan aku. Lelaki pekerja serabutan yang bahkan.. telah berkeluarga. 

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata