suami orang: madu

Ciputat, 13 Mei 2011

“Aku ingin mencium kamu sampai istrimu sanggup merasakan manisnya bibirku saat ia mengecup bibirmu..”

***

Terlentang sendirian di dalam kamar. Kau meratap. Menyalahi Tuhan atas takdirmu yang terlalu menyedihkan. Lagi-lagi kaujatuh dalam hati yang telah berpenghuni. Sempat kauberpikir untuk perlahan ikut menghuni hati si pria beristri. Menyingkirkan penghuni hati satu-satunya, meski kautahu kau tak akan pernah menjadi satu-satunya. Kau biarkan dirimu kerasukan setan.

Kemudian, kau mulai berandai. Andai kau betul-betul menerima madu dari si pria beristri. Bagaimana rasanya? Berbagi ruang hati dengan si istri, bagaimana rasanya? Bahkan yang paling pasti, berbagi ranjang dengan si istri, bagaimana rasanya? Kau lalu bergidik ngeri. Khayalan itu menjadi semacam tamparan yang menyadarkanmu. Menyadarkan bahwa poligami itu hal yang sangat keterlaluan! Bahwa poligami yang dulu kaupuja-puja itu ternyata sangat sangat tidak menyenangkan. Ya. Kau sadar bahwa setiap perempuan itu egois luar biasa. Termasuk juga kau. Sekadar berbagi ruang di hati, masih sanggup kauterima. Tapi, membiarkan orang lain ikut menjelajahi tiap mili tubuh kekasih hatimu itu tak sanggup kauabaikan begitu saja. Sungguh tak sudi rasanya! Kau yakin sekali, kau bisa gila karenanya. Baru membayangkannya saja sudah bikin kau murka.

Kau tertawa-tawa sekarang. Makin menyalahi Tuhan atas kepedihanmu itu. Atas kekecewaanmu pada jawaban-Nya sekali lagi. Kau senang-senangkan hatimu sendiri dengan berpikir bahwa Tuhan terlampau mencintaimu hingga Dia tak rela kau jatuh hati pada seorang manusia. Hingga Dia tak rela jika kau berbagi cinta. Hingga... kau mulai menangis. Menangisi cinta yang kata orang adalah suatu anugerah terindah dari Sang Maha Kuasa.

Terlentang sendirian di dalam kamar. Anganmu melayang-layang ke tempat dia yang ternyata—juga—suami orang. Lalu kau menangis. Sendirian.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata