koroshite

Aku duduk di pinggir jendela kamarku, menimbang-nimbang pisau yang sedari tadi ku genggam. Agaknya hari ini lagi-lagi ku batalkan niat untuk mengakhiri hidup. Cowok yang tinggal di depan rumahku itu menatapku. Tatapan matanya seakan berseru ‘coba lakukan itu kalau memang berani!‘ . Aku melompat turun dari jendela dan masuk ke dalam kamarku yang sebenarnya loteng ini.


Aku keluar kamar, menyaksikan pemandangan yang setiap hari kulihat. Ibu tiriku tengah disiksa suami barunya dan di sebelah kamarku adik tiriku yang baru berumur 5 tahun itu menangis sambil memegangi bantalnya. Tak ada sedikit pun niat di hatiku untuk membuatnya diam. Ku langkahkan kakiku ke dapur untuk makan.


Aku sudah tak peduli lagi dengan hidupku yang memang kacau ini. Sejak Ibu memutuskan bercerai dari Ayah yang selingkuh saat umurku baru 6 tahun, hidupku mulai kacau. Aku tinggal bersama Ayah dan Ibu tiriku yang tak pernah menampakkan sedikit pun rasa sayangnya untukku. Semua menjadi lebih parah ketika Ia melahirkan anaknya saat umurku 12 tahun. Aku mulai membenci hidupku saat itu, apalagi 2 tahun kemudian Ayah meninggal karena serangan jantung mendadak saat perusahaannya gulung tikar. Beberapa bulan setelahnya, Ibu tiriku menikah lagi dengan preman pasar yang hobinya memukuli orang.


Aku sendiri sudah berhenti sekolah sejak Ayah meninggal, kerjaanku sehari-hari cuma berdiri dekat kawasan sekolah dasar dan memalak anak-anak SD yang tidak di jemput orang tuanya. Meskipun Aku ini perempuan.

***

Pagi ini, seperti biasanya Aku berdiri lagi di kawasan sekolah dasar menanti jam pulang sekolah. Rambut panjangku ku gulung dan kututup dengan topi. Saat jam pulang sekolah tiba, tak kujumpai satu pun siswa yang melintas melewati jalan ini. Mungkin beberapa korbanku yang kemarin-kemarin melapor pada guru sehingga tak satu pun dari mereka yang berani lewat sini lagi. Fuh, itu artinya Aku tak akan dapat uang hari ini.

Akhirnya, Kuputuskan untuk pulang saja. Namun, tiba-tiba kudengar suara anak kecil memanggilku. Aku menoleh. Bocah lelaki berseragam merah putih itu menghampiriku. Bocah yang tiga hari lalu Ku palak. Ia tersenyum. Ia menyodorkan tiga lembar uang seribuan dan beberapa potong roti di tempat makannya.


“Kakak belum makan ya?“ Katanya, “Setiap hari Kakak berdiri di sini kan? ini uang jajan sama roti buat Kakak aja.“


Aku memandangi roti dan uang yang di sodorkan tangan mungil itu. Aku akhirnya duduk di sebelah bocah lelaki itu. Ku buka topi yang menempel di kepala ku. Aku tersenyum sambil menerima kedua pemberian bocah itu.


“Nama Kamu siapa? kelas berapa?“ Tanya ku.


“Jodi, kelas 2. Nama Kakak siapa? Kakak kelas berapa?“


“Hm, nama Kakak Anya. Seharusnya sih Kakak kelas 3 SMU tapi udah enggak sekolah lagi.“ Kata ku, “Jodi enggak di jemput sama mama?“


“Enggak, Mama sibuk kerja. Jadi Jodi pulang sendiri aja.“


“Lho, papa Jodi kemana?“ Kataku dengan agak bingung.


“Kata Mama, Papa ada di tempat Tuhan.“ Katanya sambil mendongak ke langit yang sekarang cukup cerah. Ah, Aku agak menyesal menanyakan hal itu pada bocah sekecil Jodi. Aku menatap uang yang tadi diberikan Jodi untukku.


“Jodi masih punya uang buat pulang?“ Kataku. Jodi mengangguk.


“Mama selalu kasih uang yang banyak buat Jodi.“ Katanya, “Biasanya lima belas atau sepuluh ribu tiap hari. Soalnya Jodi kan pulang sendiri.“


Aku ternganga. Bocah kelas 2 SD ?! uang yang melimpah tanpa adanya orang tua buat apa ?! Ku belai kepala Jodi dengan lembut.


“Jodi suka kangen sama mama?“ Tanyaku. Pertanyaan yang sebenarnya sanggup ku jawab sendiri. Jodi mengangguk. Wajah lugunya menampakkan kesedihan. Tiba-tiba Ia tersentak,

“Ah, Jodi harus pulang sekarang nanti Mama nyariin. Dadah Kakak!!“ Katanya sambil berlari meninggalkan ku.


“Jodi!“ Seruku, Jodi menoleh, “Kalau Kakak ketemu papa Jodi, Jodi mau titip pesan apa?!“ Kataku. Jodi tersenyum,

“Bilang sama Papa, Jodi kangen! makasih ya, Kak!“ Katanya. Lalu pergi.


Ku kantongi uang dari Jodi tadi, sementara rotinya kusuapkan ke dalam mulutku satu-satu sambil jalan pulang. Sudah lama juga tak kurasakan nikmatnya rasa sepotong roti.

Aku berhenti di depan rumahku dan memandangi rumah yang ada di depan sana. Cowok yang ada di sana menjulurkan kepalanya keluar jendela.


“He, kalau mau mati langsung mati saja! pake pikir-pikir, jangan-jangan sebenarnya kamu belum mau mati ya?!“ Serunya. Aku melotot ke arahnya. Setelah itu Aku cepat-cepat masuk ke dalam rumah.


Kulihat pemandangan yang berbeda. Ada seorang wanita selain ibu tiriku yang wajahnya tak asing lagi tengah duduk di ruang tamu. Ia berdiri dan menghampiriku saat Aku masuk. Matanya berkaca-kaca. Itu Ibuku.


“Maaf, Ibu baru datang sekarang. Ibu baru mendengar berita tentang kematian Ayah tiga bulan lalu. Maaf.“ Katanya seakan meminta belas kasihan dari ku. Aku tersenyum kecut. Cih, baru tiga bulan ? Ayah meninggal sudah tiga tahun !


Aku bergeser dan berlari ke kamarku tanpa menghiraukan Ibuku, Ibu tiriku dan segala tetek bengeknya. Kuraih pisau yang tergeletak di meja ku. Ibu dan Ibu tiriku masuk sambil menjerit-jerit. Aku berdiri di pinggir jendela kamarku. Pisaunya ku genggam kuat-kuat. Kenangan selama 17 tahun aku hidup di dunia tiba-tiba saja terlintas di benakku. Wajah Ayah, Ibu dan aku yang tertawa bahagia di rumah kami yang megah.


“Aku bosan hidup di dunia! kehidupanku terlalu kacau ! Apa Ibu merasakan yang aku rasakan? 11 tahun! 11 tahun Aku hidup menderita sendiri! Aku mau menyusul Ayah, Aku mau tenang, Aku mau lepas dari semua masalah! Aku mau mati saja!“ Seruku. Ibuku menggeleng berurai air mata. Aku sudah tak peduli, semuanya sudah terlambat. Aku menoleh ke rumah yang ada di depan rumahku. Kutatap Cowok yang tadi meledekku, kulihat tampangnya cukup pucat sekarang. Kubuktikan padanya kalau Aku benar-benar berani. Kalau aku benar-benar siap untuk mati sekarang.

Ku letakkan pisau di pergelangan tanganku. Ku dongakkan kepala menatap Ibu dan Ibu tiriku untuk terakhir kalinya. Dengan kuat ku gesekkan pisau itu.

***

Aku bersandar pada sebuah pohon kamboja. Ku pandangi kerumunan orang berpakaian hitam-hitam. Ku dengar juga tangisan pilu seorang Ibu. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku pelan, Aku menoleh. Ayah !


Ku tinggalkan tempat itu dan mengikuti Ayah, mungkin Aku kan sampai ke tempat tenang yang kudambakan. Ah, akhirnya tangisan pilu tak kudengar lagi. Bila telah tiba, kan kusampaikan pesan Jodi ‘tuk Ayahnya tercinta. Duniaku, selamat tinggal.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata