Gajah yang Tak Terlihat

c“ANOOOOOOOOO!!“ Ara berseru memanggil cowok yang sudah nyaris mengayuh sepedanya keluar dari pekarangan rumah di sebelah rumah Ara,“Tungguin Gue!!“ Serunya lagi sambil berlari menghampiri cowok yang bernama Ano itu.

Ano nyengir melihat Ara yang ngos-ngosan dan bertumpu pada bahu kirinya. Ara menganggap cengiran itu lebih tepat disebut seringai SWEEPER!!

“Ngapa, Raa?“ Tanya Ano tanpa nada berdosa sedikitpun, “Takut gue tinggalin yah?!“ Katanya lagi. Ano lalu terkekeh pelan. Ara menegakkan tubuhnya dan langsung menjitak kepala cowok yang telah menjadi sahabatnya selama 16 tahun itu. Ano meringis kesakitan, sementara Ara malah tersenyum puas.

“Rese’ loe!“ Katanya, “Pagi-pagi udah bikin gue marathon!“

Ano terkekeh lagi, wajahnya selalu terlihat bahagia jika Ara menderita. Ia menepuk-nepuk kepala cewek kelas 2 SMU itu pelan.

“Gomen-gomen. Niat gue tadi sih cuman mau parkir doang kok ... enggak berminat ninggalin elo.“ Katanya, “Buruan naek deh, keburu telat nih.“ Katanya lagi. Ara langsung menclok di belakang Ano, detik berikutnya sepeda melaju.

***

Ara baru akan menyuap sepotong roti keju ke dalam mulutnya saat Ano tiba-tiba muncul dan menepuk bahu Ara keras-keras.

“HOI!!“ Sapa Ano dengan suara ngebass-nya yang khas. Ara melotot ke arah cowok berambut cepak itu seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup!

“Mau bunuh gue loe ya?!“ Serunya kesal. Ano nyengir kuda, lantas Ia ikut duduk di sebelah Ara. Kebetulan saat itu Ara memang cuma sendirian di kantin.

“Enggak laah. Jantung loe kan masih kuat, raa.“ Kata Ano dengan tetap tersenyum, Ara menatap Ano dengan curiga, “Nyengir dong, my soulmate ...“ Kata Ano lagi sambil menepuk-nepuk bahu Ara pelan. Tuh kan, jurus-jurus rayuannya udah keluar ... batin Ara.

“Napa ? Pasti mau minta tolong apaaa gitu ...“ Ara menebak. Ano menggaru-garuk pipinya sendiri yang diyakini Ara tidak terasa gatal sedikitpun.

“Ehe ... gini ... gue ... gue naksir sama temen sekelas loe ...“

“OOOOOHHH, mo minta di comblangin yah?“ Celetuk Ara tanpa mengecilkan volume suaranya. Beberapa murid yang ada di sekitar situ menoleh dengan pandangan ingin tahu. Ano buru-buru mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V sambil cengengesan. Ia lalu mencubit lengan Ara pelan.

“Jangan teriak-teriak dong!“ Bisiknya.

“Ma’ap-ma’ap.“ Bisik Ara sambil memamerkan giginya, “Emang loe naksir siapa sih?“

“Si Nana.“ Bisik Ano, Ara mengernyitkan dahinya,

“Mainah ?!“ Katanya. Ano menggeleng,

“Nana!“ Bisiknya lagi.

“Iya ... namanya tuh Mainah, cuma dia maunya di panggil Nana. Katanya Mainah tuh enggak cocok sama tampang bulenya ntu ...“

Ano langsung bertampang il feel, jakunnya terlihat bergerak sekali, tanda bahwa Ia menelan ludahnya sendiri.

“Tapi, loe juga kudu bantuin gue, No ...“ Kata Ara tiba-tiba. Ano memicingkan matanya.

“Bantuin apa?!“

“Bantuin gue jadian sama Rifo ...“

Ano diam. Jantungnya serasa pindah ke balik ikat pinggangnya. Ara buru-buru menyentil dahi Ano. Ano mengerjapkan matanya.

“Deal enggak?“

“Ng ... Rifo yang loe maksud itu si Syarifudin?”

“Syarifudin?”

“Iya ... nama aselinya Syarifudin, tapi gara-gara pengaruh globalisasi namanya berubah jadi Rifo ...”

Ara terkekeh dengan tampang bloon 100%. Pandangannya hampa.

“Gue deal deh ...” Kata Ano pelan. Ara menoleh,

“Ha?”

“Gue DEAL.” Kata Ano sekali lagi. Jantung Ara ikutan pindah ke balik ikat pinggangnya. Lalu,

“Hooooohhh ... iya iya iya ... gue deal juga ...” Katanya.

Ano dan Ara pun bersalaman.

***

Esoknya, sesuai dengan perjanjian kemarin, Ara membawa Nana bertemu dengan Ano di kantin.

“Na, ini temen gue, Ano...“

“Ano...” Kata Ano sambil mengulurkan tangan kanannya. Nana menyambut tangan Ano dan tersenyum,

“Salam kenal ...” Katanya.

Ano mengalihkan pandangannya ke Ara,

“Oh iya, ini Rifo, temen gue ... “ Katanya. Rifo dan Ara bersalaman,

“Ara ...” Kata Ara sambil tersenyum. Tanpa sadar matanya bergerak dari Rifo ke Ano. Ara terkejut, Ia buru-buru mengerjapkan matanya karena ternyata Ano juga tengah menatapnya tajam. Jantung Ara langsung ber-ajeb-ajeb ria.

“Ng ... eh ... e ... anu ... e ... gue ke kelas duluan yah ...” Kata Ara dengan gugup. Rasanya Ia pingin langsung kabur saja dari situ saking deg-deg¬an nya, “Loe bertiga ngobrol-ngobrol disini aja dulu ...”

Rifo menarik tangan Ara, Ia nyengir dan mengeluarkan telepon genggamnya,

“Nomer hape loe, berapa?”

***

Sudah 2 hari sejak ‘hari perjanjian’ itu. Sejak hari itu juga, Ara belum bertemu dengan Ano lagi. Berangkat sekolah pun sendiri-sendiri. Padahal rumah mereka bersebelahan. Ara merasa enggan bertemu dengan Ano. Perasaannya kacau. Ia sebal melihat Ano ngobrol sama si makhluk sok bule itu, si Nana!

Hari minggu pagi ini, Ia berniat lari pagi keliling komplek untuk menyegarkan pikirannya. Rasanya kabut sudah merusak kesegaran otaknya sejak 2 hari yang lalu. Baru saja Ia membuka pintu rumah, tahu-tahu Ano sudah bertengger di atas sepedanya yang diparkir tepat di depan pekarangan rumah Ara. Mau masuk lagi, tapi Ia merasa tidak enak karena Ano sudah melambai ke arahnya. Ara tersenyum simpul dan melangkah dengan berat menghampiri Ano.

“Pagi, Ra!” Sapa Ano dengan suara ngebass yang sangat disukai Ara.

“Pagi, No ...” Sahut Ara tak bersemangat, kepalanya tertunduk.

“Kenapa? loe sakit?” Ano memiringkan kepalanya, berusaha melihat wajah Ara. Ara menggeleng,

“Enggak.” Katanya sambil tersenyum. Dalam hati Ia menambahkan, tadinya belum sakit, tapi setelah liat muka loe, gue jadi sakit!

“Loe mau lari pagi yah?”

“He-eh.”

“Gue ikut boleh enggak? tapi gue naek sepeda ...”

“Terserah.”

“Kok loe jawabnya gitu sih, Ra?!” Ano mengangkat wajah Ara. Membuat wajah Ara sejajar dengan wajahnya sendiri, “Loe marah sama gue?”

“Enggak.”

“Bohong. Loe marah kan sama gue?loe marah kan gara-gara gue naksir sama Nana?iya kan?!” Ano menatap mata Ara lekat-lekat. Ara mengalihkan pandangannya ke sepeda Ano. Ia tak menjawab. Ara kesal. Kesal sama dirinya sendiri yang tidak sanggup mengakui hal itu dan bilang ‘IYA’.

Ano turun dari sepedanya. Ia meremas bahu Ara dengan penuh emosi. Ara mendengar Ano menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu,

“Harusnya gue yang marah gara-gara loe minta tolong gue buat bantuin loe jadian sama si udin!” Ano menarik nafas sekali lagi, “Loe tahu enggak peribahasa yang bilang kalo ‘gajah di pelupuk mata tak terlihat tapi semut di seberang pulau kelihatan’?” Tanya Ano dengan nada emosi. Ara mendongak menatap Ano dan mengangguk.

“Gue setuju sama peribahasa itu.” Kata Ano dengan lebih sabar. Ia melepaskan bahu Ara dari remasannya. Ano memandangi sepedanya yang tergeletak di atas aspal komplek yang basah terkena embun.

“Soalnya ... soalnya ... selama ini gue nggak pernah sadar kalo gue jatuh cinta sama cewek yang selama ini ada di hadapan gue ...”

Mulut Ara segera membentuk huruf O, Ia menarik lengan baju Ano. Ano menoleh, wajahnya terlihat memerah.

“Loe ... ja ... tuh cinta sama gu ...e?” Tanya Ara terbata-bata. Ano menggaruk-garuk tengkuknya, yang diyakini Ara kali ini pun tidak terasa gatal sama sekali.

“He-eh ...” Sahutnya polos, “ Loe nerima gue enggak?”

Ara menggigit bibir bawahnya, Ia lalu tersenyum,

“Ya iyalah ... loe pikir gue belom sadar kalo gue juga jatuh cinta sama loe?!”
Katanya di iringi suara ‘hehehe’. Ano menggigit ujung jari telunjuknya sendiri,

“Berarti ... kita ... jadian dong?!kita jadian yah?!ya ampun kita jadian!!” Ano memegangi kepalanya sendiri dengan tampang panik sekaligus tak menyangka.

“Akhirnya kita bebas dari orang-orang sok keren itu ...” Kata Ara pelan. Ano menoleh ke arahnya, detik berikutnya mereka tertawa bersama. Tanpa di komando mereka lalu berseru berbarengan,

“PENGARUH GLOBALISASI!!WAKAKAKAKAKAKA....”

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata