Ada Kasih di Sekolah

Senin pagi! Kubuka jendela kamarku. Ahh... cuaca yang benar-benar bersahabat! Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya, bau aspal yang basah karena hujan semalam juga ikut menyusup masuk ke dalam indra penciumanku. Puas menikmati udara pagi hari, aku berbalik, bergerak menuju cermin yang digantung di pintu kamarku. Rambut, oke! Kemeja, oke! Kacamata, sip! Yak! Aku siap berangkat ke sekolah! Kusambar tas dari atas tempat tidurku dan bergegas keluar kamar.

“Bu, Raka berangkat!” Aku berseru sambil melangkah keluar rumah dan menghampiri motor bebekku yang kuparkir di pekarangan tadi pagi.

“Raka, kamu udah sarapan belum?” Ibuku muncul dari dalam rumah dengan daster birunya. Ia menghampiriku tanpa alas kaki karena terburu-buru.

Aku nyengir saja dan menggeleng.

“Nanti di sekolah aja...”

“Kamu ini...” Wanita yang mulai keriput ini memukul bahuku pelan. Sebenarnya, beliau lebih suka memukulku di kepala. Tapi, entah sejak kapan kepalaku ini tak lagi terjangkau oleh tangan hangatnya itu.

“Salim dulu sama ibu!” katanya dengan nada marah yang dibuat-buat. Ah! Hampir saja aku lupa salim sama ibu! Buru-buru kutarik tangan kanan ibuku dan kukecup punggung tangannya,

“Lupa, bu!” aku memamerkan gigiku lagi. Ibuku cuma bisa geleng-geleng kepala saja.

“Ka, inget, hati-hati di jalan...” waduh, sekarang giliranku yang cuma bisa angguk-angguk kepala saja, “bawa motornya jangan ngebut! Pelan-pelan aja, ya! Inget pesan ibu!“ sip bu, otakku mulai mencatat nasehat ibu barusan! aku membatin.

“Sip! Raka berangkat sekarang ya, bu...” kukecup pipinya dan langsung naik ke motor. Kupakai helm dan ku-starter motor bebekku. Aku meninggalkan rumah di iringi lambaian tangan ibuku yang kulihat dari kaca spion motor bebekku.

***

Belum lama kunikmati lengangnya jalanan di Jakarta, sekarang aku malah terjebak dalam kemacetan. Kemacetan yang panjang, karena sejauh mata memandang yang kulihat hanya kendaraan berjajar seperti di parkiran paralel. Aduh, ini kan hari Senin! Kulirik jam perak yang melingkari pergelangan tangan kananku. Pukul 6.30. Mudah-mudahan saja aku tidak terlambat.

Motorku maju dengan sangat-sangat lambat. Rasanya barusan aku lihat siput di trotoar meluncur lebih cepat di banding bebek bermesin ini. Kulirik lagi jam tangan perakku. Mataku sekarang tak lepas dari jam tangan perakku. Kalau di tanya tentang barang berharga milikku, pasti langsung kujawab: “JAM TANGAN!”. Berharga bukan karena label merk ataupun harganya. Tapi, berharga karena si pemberinya. Gadis yang rambutnya selalu di ikat rapi itu. Reina. Ya, namanya Reina.

Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya empat bulan yang lalu. Senin pagi. Saat itu hari perdana aku masuk di kelas yang baru. Reina duduk di paling depan. Cantik. Cantik sekali. Aku tidak berani menegurnya. Menatap langsung matanya saja membuat hatiku bergetar. Entah kenapa Ia terlihat berbeda di antara para gadis yang lainnya. Para gadis yang juga memakai kemeja putih dan rok abu-abu. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Senin berikutnya, aku yang memang senang menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan menemukan gadis cantik itu. Reina! Reina duduk sendiri dan tampak serius membaca sebuah buku. Aku tak bisa membaca judul buku itu dari tempatku berdiri sekarang. Tapi, matanya yang jernih itu tampak antusias bergerak mengikuti kalimat-kalimat dalam buku yang terbuka di hadapannya. Sesekali Ia berhenti lama pada satu kalimat dan dahinya berkerut, kelihatannya berusaha memahami makna dari kalimat yang dibacanya. Entah magnet apa yang menarikku, tapi tanpa sadar kakiku melangkah menghampiri Reina. Kaki yang kurang ajar ini malah berhenti tepat di depan meja tempat Reina membaca. Reina melirikku dan tersenyum. Leleh hati ini melihat senyumnya yang manis itu. Apalagi baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan senyum itu untukku! Kuputuskan untuk duduk disana.

“Baca apa?”

Reina mengangkat wajahnya. Matanya menancap di mataku. Aku meneguk ludah karena terkejut sekaligus gugup. Reina tersenyum lagi.

“Supernova,” katanya, “yang ‘PETIR’.”

Suara Reina yang lembut terasa menyejukkan di telingaku. Menyihirku untuk diam sesaat dan menikmatinya. Aku sadar Reina masih menatapku, menanti komentar dariku. Lantas aku menganggukkan kepala,

“Supernova bagus...” otakku langsung mencari-cari kalimat lain yang relevan dengan kalimatku barusan. Ah! Kenapa perbendaharaan kataku hilang di saat begini?!

“Suka ya?” Reina menimpali kalimatku yang putus tadi, “Saya suka...” Reina tersenyum begitu cerahnya.

Aku pun mengangguk lagi,

“Iya, suka...” sama kamu! Kata-kata yang terakhir ini hanya mampu kutambahkan di dalam hati saja. Reina tertawa pelan. Otakku langsung menyimpan tawanya barusan di folder ‘unforgetable’.

“Baru kali ini saya ketemu orang yang suka Supernova, lho!” kata Reina dengan bersemangat. Aku tersenyum. Senang rasanya ada satu hal yang dapat membuatku dekat dengan Reina.

Hari itu, sisa waktu istirahat kuhabiskan untuk mengobrol dengan Reina. Kami membahas Supernova, novel favorit kami berdua. Tapi, jujur saja, aku lebih banyak menjadi pendengar setia. Cuma sesekali aku berkomentar. Kenapa? Karena aku lebih suka berkonsentrasi melihat Reina bercerita ketimbang sibuk berkonsentrasi mencari kata-kata yang pas untuk bercerita.

***

Sejak hari itu, seminggu sekali aku rutin bertemu Reina di perpustakaan. Hari Senin, setiap jam istirahat kedua. Kami membicarakan banyak hal tentang buku. Reina memberiku rekomendasi buku-buku bagus yang menurutnya wajib aku baca. Aku pun demikian, kurekomendasikan buku-buku yang aku punya di perpustakaan mungilku di rumah.

Satu waktu, Reina mengakui padaku bahwa ia menyukai novel detektif karya Sir Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes. Mengetahui itu, langsung kutawarkan seri terakhir novel Sherlock Holmes yang aku punya di rumah. Reina spontan memekik kegirangan. Berkali-kali ia ucapkan terima kasih padaku. Sebenarnya, kalau Reina mau pun akan kupinjamkan seluruh buku yang aku miliki padanya!

Di kelas kami tidak seakrab di perpustakaan. Cuma sesekali kulihat Reina tersenyum padaku begitu cerahnya. Sinar matanya membuatku lebih bersemangat di dalam kelas. Aku begitu kehilangan saat ia sakit dan tak bisa pergi ke sekolah. Hari itu, Senin pagi.

“Reina enggak masuk hari ini?” tanyaku pada teman sebangku Reina. Gadis itu menggeleng. Cuma satu kata yang keluar dari mulutnya,

“Sakit.”

“Ooohhh...” tak ada lagi yang bisa kuucapkan. Aku kembali duduk di kursiku. Lunglai. Hari itu aku tidak bersemangat.

Di hari Senin lainnya, Reina malah membuatku terlalu bersemangat. Terlalu bersemangat sampai jantungku serasa bergeser dari tempatnya. Hari itu, Senin siang. Seperti runtinitasku setiap pulang sekolah, hari itu aku juga tengah memanjakan diri dengan aktifitas di dunia maya. Fasilitas ini kudapat secara gratis dengan menggunakan komputer di perpustakaan. Saat itu aku memang tak mendengar setapak pun langkah kaki karena berkonsentrasi penuh pada layar komputer. Tiba-tiba...

“DORR!!”

Aku tersentak kaget dan buru-buru menoleh. Reina berdiri di belakangku dengan senyum jahil. Jantungku berdegup kencang karena kaget dan karena Reina yang mendadak muncul di sini. Semangatku sudah di recharge sekarang.

“Kamu belum pulang?” tanyaku. Pertanyaan bodoh! Jelas saja dia belum pulang! Sekarang saja ada di depan mataku!

“Belumlah..ini bukan Reina jadi-jadian, lho!” katanya sambil menarik sebuah kursi. Mataku tak lepas dari gerakannya itu. Ia menarik kursi itu ke sebelahku lalu duduk di situ, “Sendirinya juga belum pulang, kan?”

“Eh?” aku tak tahu harus berkata apa. Akhirnya kuputuskan untuk terkekeh pelan. Reina tersenyum. Jantungku memulai marching band-nya di dalam dadaku. Reina mengalihkan pandangannya ke layar monitor komputer.

“Itu multiply, ya?” tanyanya polos. Aku buru-buru menggerakkan tanganku yang gemetar ke arah mouse. Mengarahkan cursor ke tulisan ‘sign out’ dan meng-kliknya.

“Iya...di tutup aja deh..” kataku dengan agak gugup. Saking gugupnya aku langsung berdiri dan mengambil tasku. Reina menoleh,

“mau pulang?”

“Iya.. kamu pake aja komputernya..” aku tersenyum dan bergegas meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi. Aku tak mau Reina mendengar suara marching band yang semakin kencang dari balik kemejaku.

***

Hari itu Senin sore, aku pulang terlambat. Banyak tugas yang harus kuselesaikan hari itu juga. Keluar dari perpustakaan, aku melihat Reina duduk di depan laboratorium komputer. Sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas merahnya. Dahinya sedikit berkeringat, alisnya nyaris menyatu. Pastilah yang di carinya sesuatu yang sangat penting. Kuputuskan untuk menghampirinya.

“Cari apa, Rei?”

Reina mendongak dan tersenyum kecut. Senyum yang di paksakan. Aku berjongkok di depannya. Kulihat matanya mulai berair.

“Pon..ponsel saya.. hilang..”

Reina mulai terisak. Ia menundukkan kepalanya lagi. Aku tahu ia menangis. Reina mengangkat tangan kanannya dan mengusap pipinya. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh kepalanya.

“Saya bantu cari ya?” aku menawarkan diri. Reina mengusap pipinya lagi lalu mengangkat wajahnya dan menatap mataku. Matanya basah dan agak merah. Ia mengangguk.

Hari itu, kuhabiskan sore untuk membantu Reina mencari ponselnya yang hilang. Mulai dari laboratorium komputer, perpustakaan, toilet wanita, sampai ruang kelas. Hasilnya, ponsel itu kutemukan tergeletak di laci meja tempat duduk Reina di dalam kelas.

Awalnya aku berniat akan langsung pulang ke rumah, mengingat ibuku yang cantik itu selalu rewel kalau anak laki-lakinya ini pulang terlambat. Tapi, hari sudah menjelang petang. Kulirik Reina yang melangkah keluar gerbang seorang diri. Mana tega aku membiarkan gadis cantik itu pulang sendirian. Aku menghampirinya, basa-basi a,i,u,e,o dan menawarkannya tumpangan. Ia kelihatannya ragu. Aku buru-buru menambahkan kalau aku tidak memaksa, ini hanya tawaran yang bisa di tolak. Rupanya Reina malah tidak menolaknya. Ia tersenyum dan mengikutiku ke arah motor bebekku. Hari itu, harumnya Reina ikut menempel di kemejaku.

***

Senin siang. Begitu bel penanda jam istirahat kedua di mulai berbunyi, aku bergegas menuju ke perpustakaan. Barusan kulihat sekelebat bayangan Reina yang berlari ke perpustakaan. Novel Sherlock Holmes yang kujanjikan kugenggam erat di tangan kananku. Aku mempercepat langkah kakiku. Sudah tak sabar ingin bertemu Reina dan melihat reaksinya.

“Reina, ini...”

“WOW! THE LAST BOOK!” ia menjerit sebelum kalimatku selesai. Pengawas perpustakaan melirik kami, aku mengangguk saja sambil tersenyum. Reina terlihat senang sekali. Saat itu matanya bercahaya. Jauh lebih indah dari aurora di kutub sana. Reina menengadahkan kedua tangannya. Kuletakkan buku yang kupegang itu di sana. Ribuan ucapan terima kasih meluncur keluar dari mulut mungilnya. Aku cuma tersenyum saja dan mengucapkan ‘tak apa-apa’ ribuan kali juga.

Reina buru-buru duduk di kursi favoritnya dan mulai membaca. Aku seperti biasa duduk di hadapannya dan mengambil sebuah buku sebagai kamuflase. Entah sejak kapan aku jadi lebih suka melihat Reina yang membaca buku ketimbang membaca buku itu sendiri. Beberapa kali Reina mengangkat wajahnya dan memergokiku tengah memperhatikannya. Tapi, detik berikutnya ia selalu kembali tertunduk dan sibuk dengan buku novelku lagi. Ia seakan membiarkanku larut dalam tiap milimeter bagian wajahnya. Kali ini aku harus menahan diri untuk menyentuh pipinya yang mulus itu.

Aku tak tahu berapa lama aku terus memandangi Reina. Memahat wajahnya di hatiku. Tahu-tahu saja bel penanda istirahat telah berakhir berbunyi. Reina mendongak dan aku buru-buru menunduk. Ku tancapkan mataku secara asal saja di kalimat yang tercetak pada buku kamuflase-ku. Aku harus pasang tampang ‘serius membaca’ stadium empat! Reina menyentuh ujung jari-jari tanganku. Aku tersentak bagaikan di aliri listrik ringan di sana. Secara refleks aku pun menarik tanganku. Jantungku memulai marching band-nya lagi. Wajahku terasa panas.

Reina agak terkejut dengan refleksku barusan. Tangannya masih menggantung di samping buku kamuflase-ku.

“Ma..maaf..” katanya dengan nada bersalah bercampur malu. Reina menggenggam bukuku lalu berdiri, “Sa..saya cuma mau bilang, saya duluan..” katanya lagi dengan wajah tertunduk. Reina cepat-cepat meninggalkanku sendiri. Aku cuma bisa memandang punggungnya yang menjauh tanpa bisa bergerak ataupun berkata sesuatu.

***

Lagi-lagi Senin siang. Hari ini hujan turun dengan derasnya. Aku duduk di dekat tempat parkir yang bebas dari air tanpa bisa menyentuh motor bebekku yang di lapisi air di seberang sana. Melihat langit yang gelap rasanya seperti melihat suasana di dalam hatiku. Gelap dan mulai turun hujan juga di dalam sini. Aku menoleh kiri kanan, sedikit berharap Reina akan muncul dan tersenyum padaku. Ia akan duduk di sampingku dan menemaniku menanti hujan reda dengan membicarakan buku-buku.

Angan-anganku lenyap seiring dengan munculnya sedikit cahaya matahari dan berubahnya hujan menjadi gerimis ringan. Kutinggalkan tempat berteduhku dan menghampiri motor bebekku. Tak sengaja kulihat sosok Reina dari kaca spion motor bebekku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Memastikan kalau yang kulihat itu benar-benar Reina. Tapi, bayangan itu tak hilang juga. Aku menoleh dan Reina melambai ke arahku. Ia menghampiriku dengan berjinjit untuk menghindari genangan air.

“Dari tadi saya ada di situ, lho!” dia menunjuk kursi yang tak jauh dari kursi tempatku duduk tadi, “Nih..” ia menyodorkan buku novel yang kupinjamkan padanya minggu lalu.

Kuambil buku itu dari tangannya. Kalau di lihat dari jarak sedekat ini sambil berdiri, barulah kusadari bahwa tubuh Reina memang benar-benar mungil. Tingginya tak lebih dari dadaku. Ia harus mengangkat wajahnya kalau mau bicara padaku, sementara aku menunduk sedikit. Aku jadi ingat pertemuanku yang terakhir dengannya,

“Ng.. minggu lalu, maaf ya, sa.. saya refleks..”

Aku menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal sedikit pun. Aku salah tingkah. Wajah Reina merona merah.

“Udah saya maafin kok!” kata Reina cepat. Setelah itu ia langsung berbalik dan berlari kecil menjauhiku. Aku tak mau melihat punggungnya saja seperti minggu lalu. Untuk hari ini dan selanjutnya, tidak mau!

“Reina!” aku berseru memanggil Reina. Gadis berseragam putih abu-abu itu menoleh. Aku mendekatinya,

“Saya suka kamu.”

Aku langsung berbalik lagi menuju motor bebekku. Cepat-cepat kutaiki motor bebekku itu. Reina tak bergerak dari tempatnya. Baru saat ku starter motorku ia berjalan menghampiriku. Wajahnya semakin merah. Ia menunjuk novel ‘Sherlock Holmes’ yang masih kupegang seakan menyuruhku membukanya. Aku buka buku itu. Tepat di halaman terakhir kulihat tulisan tangan Reina: ‘S.U.K.A’. Aku melirik Reina.

“saya juga suka..” katanya malu-malu.

Hari itu, gelap dan hujan di hatiku segera menguap dan digantikan matahari yang bersinar berikut bunga-bunga dan tanamannya yang berwarna-warni....

“DIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNN!!”

Aku berjengit saking kagetnya. Telingaku berdengung. Aku menoleh. Supir berwajah garang di belakangku melongokkan kepalanya dari dalam truk yang agak dekil.

“MAJU DONG!! MACET NIH!! BENGONG AJA!!” seru supir itu. Aku mengangkat tangan kananku dan mengangguk,

“Maaf, Pak!” sahutku. Aku buru-buru meninggalkan supir yang garang itu. Jalanan memang sudah tak semacet tadi. Pantas saja supir itu mengamuk, ini memang salahku karena bengong dan malah mengenang bagaimana aku bisa menjadi pacar Reina sekarang. Yak! Sekolah, aku datang!

***

“Pagi, Pak!” aku berseru pada satpam sekolah, rutinitasku tiap memasuki gerbang sekolah. Pak satpam itu cuma melambaikan tangannya saja seperti hari-hari senin yang lainnya. Cuma hari Senin saja aku datang ke sekolah. Hari lain tak ada jam.

Kuparkir motorku di tempat khusus. Tempat parkir ini memang khusus, karena ada tulisan yang berbunyi: SISWA/SISWI DILARANG PARKIR DISINI!

“Kak!” aku tahu itu suara Reina, aku menoleh dan tersenyum. Reina menghampiriku, “Kak, saya bawa buku yang baru saya beli kemarin. Kakak harus baca! Bukunya bagus!” katanya dengan bersemangat. Matanya bersinar-sinar kalau membicarakan buku. Aku mengangguk,

“Istirahat kedua di perpustakaan, kan?” aku bertanya meski sudah tahu jawabannya. Reina mengangguk.

“Sampai ketemu ya, Kak!” Reina tersenyum dan meninggalkanku dengan aura bahagia. Aku menatap punggungnya yang menjauh dengan bahagia juga.

“Pagi, Pak!”

Aku menoleh. Murid laki-laki berseragam putih abu-abu di hadapanku menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tersenyum,

“Pagi!”

Ya. Reina yang juga berseragam putih abu-abu adalah pacarku, dan aku adalah gurunya.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata