Tentang Dia: Benci Untuk Mencinta

Ciputat, 22 September 2014

“Aku tak tahu apa yang terjadi antara aku dan kau..

Yang kutahu pasti

Kubenci untuk mencintaimu….”

Naif – Benci Untuk Mencinta

***

Satu tengah malam yang berisik karena hujan badai, aku dikejutkan dengan sebuah sms singkat dari dia yang berbunyi: aku ada di depan kontrakanmu. Maka buru-buru aku membukakan pintu dan mendapati gadis itu basah kuyup dengan bibir yang nyaris biru dan seluruh tubuh gemetar hebat. Aku cepat cepat menariknya masuk ke kontrakanku. Ketololan apa yang membawanya datang ke tempatku selarut ini tanpa memedulikan hujan badai sama sekali?

Dia duduk menyeruput teh hangat di kasurku setelah aku memaksanya mengeringkan tubuh dan mandi air hangat sesegera mungkin. Kausku tampak seperti baju terusan pada tubuh mungilnya. Kurasa bobot tubuhnya memang juga menyusut beberapa kilo sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Masalah apa yang mampir dalam hidupnya kali ini?

“Apakah kautahu, mengapa seseorang memutuskan untuk memiliki kekasih?”, akhirnya dia bicara setelah gemetar di tubuhnya mulai berhenti. “apakah karena hidup sendiri terlalu mengerikan? Apakah karena ada rasa nyaman berlebih ketika kalian menghabiskan waktu bersama hingga kau tak ingin ada orang lain yang merebut kenyamanan itu? Ataukah semata-mata karena kau butuh seseorang untuk memenuhi nafsu birahimu tanpa perlu membayar?”

Ada apa ini? Apakah ada yang salah dengan percintaannya kali ini? Apakah ketidakrelaan diriku saat menyerahkan dirinya pada lelaki itu benar-benar adalah sebuah keputusan yang salah?

Dia mengusap bulir air mata yang nyaris mengalir ke pipinya. Mata itu dipenuhi kebimbangan. Oh sungguh melihatnya membuatku ingin memutar ulang waktu dan menarik dirinya jauh dari lelaki itu. Apakah lelaki itu yang membuatmu menerjang badai demi mencapai tempatku dan mencurahkan segalanya?

Dia tertawa pelan, “kupikir aku terlalu naïf karena menganggap seseorang memutuskan memiliki kekasih karena adanya kenyamanan yang hanya ingin dimiliki oleh dirinya sendiri. Kupikir seseorang memiliki kekasih karena adanya perasaan tak ingin berbagi. Kupikir seseorang memiliki kekasih karena sang kekasih adalah satu satunya bagi dirinya. Tapi aku tak tahu jika ada golongan yang berbeda…”. Dia melirikku, “ternyata ada orang-orang yang tak bisa hidup bersama satu orang saja. Ternyata ada orang-orang yang butuh lebih dari satu kekasih untuk memenuhi segala aspek dalam kehidupannya. Lucu sekali. Karena orang-orang seperti itu tak lagi ingat bahwa sang kekasih menerima dirinya apa adanya, bahwa sang kekasih tak memikirkan seberapa banyak yang tak bisa dipenuhi mereka selama mereka tetap ada di sisinya.”

Ada hantaman besar di dalam dadaku: rasa sesal. Aku menyesal telah menyerahkannya pada lelaki itu berbulan lalu. Kupikir lelaki itu sungguh-sungguh ingin melindungi dirinya. Meski lelaki itu memang tak memenuhi segala kriteria yang kuhendaki, tapi kupikir kesungguhan untuk melindungi gadis itu saja sudah cukup.

“kekasihku memiliki kekasih lain.” Dia tertawa lagi. Tawanya diakhiri dengan isakan. Dia lekas meletakkan cangkir teh hangatnya di meja kerjaku dan berusaha mengusap lelehan air mata yang terus membasahi pipinya dengan kedua telapak tangannya. Namun lelehan itu semakin bertambah banyak dan tak mau berhenti. Isakannya malah semakin menjadi sekarang.

“kekasihku.. memiliki.. kekasih.. lain…”, berkali-kali dia mengucapkan hal yang sama di antara isakannya.

Aku beringsut maju dan membiarkannya membasahi kaus tidurku. Tak dapat kuukur seberapa kuat keinginanku untuk segera berlari menghampiri lelaki itu dan menghajarnya sampai mati. Aku bersumpah akan semakin memperketat seleksi terhadap laki-laki yang ingin masuk ke dalam kehidupan gadis ini.

“tetapi… aku masih tetap saja menyayangi dirinya. Bahkan hingga… detik ini…”

Aku merasakan wajahnya menekan bahuku semakin kuat, isakannya terdengar makin menghentak.

“aku membenci diriku sendiri karenanya… benci sekali…” Dia lalu memeluk tubuhku kuat-kuat. Kuat sekali hingga mungkin aku akan remuk jika saja tenaga sakit hatinya mampu merubah gadis ini menjadi makhluk hijau besar dalam komik Marvel. “aku ingin hidup bersamanya tapi mengingat betapa banyak kebohongannya padaku, betapa palsu seluruh rasa sayangnya padaku, betapa hebat rasa sakit hati yang dia tinggalkan padaku… aku merasa hanya orang paling dungu lah yang masih menyimpan keinginan untuk hidup bersamanya… dan siapa sangka aku lah si orang dungu tersebut!”

Pelukannya mulai mengendur. Isakannya telah berubah menjadi satu-dua tarikan napas yang panjang dan dalam. Aku membelai punggungnya pelan pelan.

“aku membencinya. Aku juga mencintainya. Penjahat itu. Diriku. Aku sangat membenci penjahat itu karena telah membuat diriku terlalu mencintainya. Cinta yang keterlaluan hingga aku memiliki empati yang melampaui batas kewarasan pada kebiasaan buruknya untuk bercinta dengan lebih dari satu wanita, kebiasaan buruknya yang tak mampu menjalani komitmen panjang dengan hanya bersama satu wanita saja. Cinta yang keterlaluan hingga aku memiliki kebencian permanen padanya yang telah mempermainkan cintaku yang tulus. Tetapi…” dia menghela napas sebelum melanjutkan dalam bisikan yang teramat pelan hingga nyaris tak terdengar di antara derasnya bunyi air hujan di luar sana, “…dalam segala kebencian ini, aku masih saja mencintainya.”

Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut gadis ini setelah itu.

Aku masih membelai punggungnya pelan-pelan, sedikit berharap setiap sapuan belaian tanganku turut meluruhkan kebencian yang terlalu itu agar mungkin rasa cinta yang dia sadari ketidakwarasanya itu juga ikut hilang selamanya. Kebencian gadis ini tiba-tiba membuatku teringat pada sebuah tulisan yang pernah kubaca:

“hanya rasa cinta yang teramat dalam lah yang mampu menghasilkan kebencian yang terlalu.”

Di luar sana, hujan masih belum reda juga.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata