Segumpal Ampas Kopi di Dasar Gelas

Ciputat - Tangerang Selatan, 22 Juli 2014

“Cinta itu seperti kopi hitam. Enak dinikmati selagi panas..”, katamu pelan seraya menatap ke dalam mataku dengan ekspresi yang tak kupahami sama sekali. Apakah kedua ujung bibirmu yang kautarik ke pipi dapat kudeskripsikan sebagai sebuah senyuman?

***

Kau embuskan asap rokokmu pelan-pelan dari dalam mulut. Kaulirik jam tangan berantai perak yang diberikan secara cuma-cuma oleh perempuan yang kini lelap di balik punggungmu. Kau tak pernah mengerti kenapa Tuhan bisa memberimu kemampuan memperdaya perempuan sehebat ini. Kau tak tahu mesti kausebut kemampuan ini sebagai berkah atau justru musibah.

Perempuan yang tertidur kelelahan di balik punggungmu itu sudah hampir setahun ini kaujadikan kekasih. Entah kekasih yang nomor berapa, kau bahkan tak lagi ingat. Karena ada banyak lagi kekasihmu di luar sana. Perempuan-perempuan yang bagimu terlalu bodoh hingga percaya segala ucapan yang keluar dari mulutmu yang selalu berbau asap rokok itu. Kaulirik sekali lagi wajah lelap perempuan itu, karena mungkin ini terakhir kali kau akan melihatnya. Bagimu, permainanmu dengan perempuan itu sudah selesai. Kau sudah mendapatkan semua yang kauinginkan.

Perempuan itu satu-satunya perempuan yang selalu protes dan selalu saja sulit mempercayai kebohongan yang kaujejalkan ke dalam otaknya. Perempuan itu bahkan tak pernah pasrah menyerahkan tubuhnya padamu. Kau selalu perlu usaha ekstra untuk membuat tubuhnya tak lagi berdaya melawan nafsumu yang tak pernah sanggup kautahan. Kaujulurkan tangan untuk membelai tubuh perempuan itu sekali lagi. Kauanggap permainanmu dengan perempuan itu selesai sampai di sini meski kau tak pernah betul-betul menyetubuhi dirinya. Kau sudah mencoba dua kali untuk melakukan kebejatan itu tetapi jeritan perempuan itu yang memohon padamu untuk berhenti disertai wajah penuh ketakutan bahkan nyaris menangis, membuatmu urung melakukannya. Ah, lagipula kau sudah merasakan setiap millimeter lekuk tubuh perempuan itu dengan jari jari tanganmu, dengan bibirmu, dengan lidahmu, tanpa terkecuali. Kaubiarkan perempuan itu menganggap dirinya masih bisa disebut perawan dengan tak memasuki dirinya secara langsung.

Kauberdiri dan mengemasi barang-barangmu sepelan mungkin agar tak membangunkan perempuan itu. Kau harus bergegas ke rumah calon istri kesayanganmu yang lima menit lalu mengirimkan sms ke ponselmu minta bertemu. Kaupakai sepatu yang juga pemberian perempuan yang akan kautinggalkan lelap di sofa rumahnya itu. Susah payah kau berusaha menahan tawa saat menatap punggung perempuan itu sekali lagi. Seharusnya perempuan secerdas dia mampu memahami kalimat yang kausampaikan di masa awal kaujadikan dia kekasih palsumu. Seharusnya, perempuan secerdas itu paham, bahwa bagi lelaki sebajingan dirimu cinta tak lebih dari segelas kopi hitam seharga tiga ribu rupiah yang bisa dibeli di warung kopi pinggir jalan. Ya, bagimu cinta hanya enak dinikmati selagi panas dan bisa kaubuang begitu saja ketika yang tersisa di dasar gelasmu hanyalah segumpal ampas. Bagimu, kini, tak ada lagi yang bisa kaunikmati dari perempuan yang telah menjadi gumpalan ampas kopi itu. Tidak ada.

Kaukecup pipinya untuk yang terakhir kali, lalu sepelan mungkin kau berbisik sebelum menutup pintu rumahnya rapat-rapat,

“Terima kasih. Selamat tinggal, sayang.”

***

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata