Lelaki Asing Pada Sebuah Perjalanan Pulang

Ciputat, 27 Juli 2014

Sebuah hadiah ilang tahun terhebat dari Tuhan selama duapuluh tiga tahun ini: mengenal kamu.

NB: Sebuah hadiah lain yang juga tak kalah hebat: bertemu Pak Pranoto pada suatu pagi di dalam angkot menuju Ciputat :)

***

Pernahkah kau mendengar tentang adanya gaya tarik menarik antara pikiran kita dengan semesta hingga ketika kita memikirkan sesuatu sefokus-fokusnya maka semesta akan mendekatkan apa yang kita pikirkan itu pada kita? Pernahkah kau mendengarnya? Kukira mungkin lebih banyak orang yang menyebut hal semacam itu sebagai sebuah kebetulan.

Sore itu, halte bus Transjakarta Harmoni penuh sesak seperti biasanya. Aroma yang meruap di antrian puluhan manusia itu tak lagi bisa kujelaskan dengan kata-kata. Jangan tanya berapa besar keinginanku menanggalkan seluruh pakaian karena pengapnya berada dalam antrian itu. Tapi, aku memutuskan untuk melewati bus yang baru saja tiba setelah melihat tak ada satupun kursi yang tersisa di dalamnya. Bukan aku pemilih. Hanya saja, aku terlalu letih untuk berdiri hari ini.

Saat jam makan siang, aku tak sempat menelan satu makanan pun. Bagaimana bisa aku menelan sesuatu ketika aku sibuk menyelesaikan perkara hati yang telah membuang waktu berhargaku setahun belakangan ini? Siang tadi aku menemui kekasihku bersama kekasihnya. Kau tak mengerti dengan ceritaku? Yah jadi mari kupersingkat, beberapa hari yang lalu aku baru mengetahui fakta menyakitkan bahwa selama hampir satu tahun ini aku adalah seorang selingkuhan. Beri selamat untuk diriku, gadis-gadis! Sesungguhnya, si hati kecilku yang teramat polos sangat ingin mempertahankan hubungan kami. Tetapi, kekasih dari kekasihku itu tak mau melepaskan kekasihku begitu saja. Tidak akan mau, malah. Perempuan itu mampu memberikan apa yang tak pernah bisa aku berikan pada kekasihku. Maka, kau tahulah, aku tak mungkin menuntut macam-macam jika perempuan itu lah yang telah kehilangan segalanya. Aku juga perempuan. Mana mungkin aku setega itu pada sesama perempuan, bukan? Lantas, kuputuskan untuk mengalah saja. Kepalaku sakit sekali rasanya. Hatiku lebih sakit lagi. Apalagi ketika mendengar dengan telinga sendiri kekasihku memilih kekasihnya dibanding memilih aku. Oleh karena itu, aku hanya ingin duduk tenang di dalam bus hari ini. Hari ini saja.

Bus yang kunanti, akhirnya datang lagi. Aku bergegas menjejalkan diri ke dalamnya dan duduk di kursi kosong pertama yang kulihat. Aku menjatuhkan diriku ke kursi itu dengan terlalu kuat hingga tak sengaja menyenggol jatuh sebuah koran dari pangkuan lelaki paruh baya gemuk berkacamata di sebelahku. Buru-buru kupungut koran itu dan meminta maaf padanya. Lelaki itu tersenyum dan berucap tak apa berkali kali. Kurasa, pertemuanku dengan lelaki itu adalah sebuah kebetulan terbesar yang kualami selama duapuluh tiga tahun hidupku di dunia.

Mulanya kami bicara tentang pekerjaanku, tentang carut marut negara kita, tentang betapa majunya negara tetangga, hingga entah kenapa lelaki itu tiba tiba bicara tentang kriteria memilih pasangan hidup yang tepat demi keselamatan diriku sendiri. Aku yang semula acuh tak acuh mendengarkan lelaki itu bicara, segera menegakkan tubuh ketika dia mulai membicarakan topik yang terakhir.

“Ini sebuah rahasia penting, untuk keselamatan diri kamu sendiri.” Begitu katanya sebelum memulai sebuah ceramah panjang yang kurasa, tak akan pernah aku lupakan…

“Hal pertama yang perlu kamu perhatikan adalah attitude. Wajah tampan, tampilan fisik, itu urusan nanti. Jika laki-laki sudah berani memegang tubuh seorang wanita, maka kamu perlu tahu bahwa dia akan berani melakukan hal yang sama terhadap wanita yang lainnya. Sikap seperti itu adalah sebuah penyakit bawaan yang tak mungkin bisa dirubah. Boleh lah satu-dua tahun dia berubah, tapi tahun tahun berikutnya? Dia akan merasa tak puas dengan istrinya dan mencari wanita lain di luar sana.. laki laki seperti itu, harus kamu hindari.”

“Kedua, pendidikan harus seimbang. Atau paling tidak ketika kamu bicara tentang hal A, maka dia juga akan menjawab tentang hal A dan bukannya malah hal B. Paling tidak pengetahuan kalian sama, sehingga obrolan satu sama lain pun nyambung. Jenuh juga bukan, jika setiap kamu bicara satu hal pasanganmu sama sekali tidak paham?”

“Ketiga, kamu harus nyaman dengan keluarganya. Bukankah ketika menikah kamu akan menjadi bagian dari keluarganya? Bagaimana kamu bisa bahagia jika kamu tidak merasa nyaman dengan keluarganya? Menikah itu bukan untuk satu-dua tahun. Tapi kamu berharap menikah itu untuk sekali sampai mati bukan? Maka carilah keluarga yang membuat kamu nyaman.”

“Keempat, jangan dekat dekat dengan lelaki yang kasar. Jangan dekat dekat dengan lelaki yang emosian apalagi sampai ringan tangan. Laki laki yang bertutur kata kasar juga perlu kamu hindari. Buat apa dekat dekat dengan lelaki seperti itu? Cuma bikin sakit hati. Meskipun dia bilang, nanti aku berubah setelah menikah. Nanti aku berubah karena aku telah memilihmu. Kamu jangan mau begitu saja. Di dalam hati, kamu ucapkan: bukan hanya kamu yang berhak memilih. Aku ini perempuan baik. Maka aku juga berhak memilih laki laki yang baik.”

“Kelima, buang jauh jauh lelaki perokok berat dan gila minuman. Mereka yang merokok berat memiliki kemungkinan berbagai macam penyakit di masa tua nanti. Malah ada kecenderungan kena kanker. Kamu mau di masa tua nanti cuma mengurus orang penyakitan? Duh, sudahlah, lelaki lelaki macam itu buang saja jauh jauh. Yakinkan bahwa kamu bisa mendapat laki laki yang lebih baik dari itu.”

Aku terbengong-bengong mendengarkan ceramah panjang lelaki gemuk berkacamata itu. Aku tak tahu apakah lelaki ini jelmaan malaikat kiriman Tuhan untukku atau apa, tetapi semua hal yang dia ucapkan seolah menampar pipiku keras-keras hingga membuat mataku terbuka lebar bahwa kehilangan kekasihku justru adalah hadiah terbesar yang Tuhan berikan padaku sebagai sebuah pelajaran hidup.

Sebagai penutup, lelaki paruh baya itu menepuk pahaku pelan dengan gulungan korannya sambil tersenyum, “Jadi buang jauh-jauh laki laki yang seperti itu ya? Demi keselamatan kamu..”

Meski sedikit ragu, aku akhirnya tersenyum dan mengangguk pelan-pelan.

Pengeras suara di dalam bus menyebutkan satu nama halte. Lelaki itu pamit berdiri dari kursinya karena harus turun di halte berikutnya. Sebelum beranjak, dia menyebutkan namanya dan melambaikan gulungan korannya ke arahku. Aku memperhatikan lelaki itu keluar dari bus dan tak melepaskan mata dari punggungnya hingga akhirnya bus yang aku tumpangi menjauh. Sungguh aku akan lebih terbahak jika kudapati lelaki itu memunculkan sayap di belakang punggungnya dan melompat terbang ke langit berbintang. Lantas, kuputuskan mengeluarkan ponselku dan mulai mengetik sebuah pesan. Aku tersenyum dalam hati ketika pesan itu kukirimkan.

“Kuputuskan untuk memaafkan semua kebohonganmu selama ini. Bukan karena kamu pantas untuk dimaafkan tapi karena aku ingin membuang segala beban di hatiku. Sudah cukup. Jangan muncul lagi di hadapanku. Terima kasih.”

***

Comments

  1. hahahaha drama banget ya, daripada derama begini, mending halan-halan aja ke Teras Kota :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata