PURNAMA

Ketika jatuh cinta, bukalah matamu lebar-lebar!

***

Cinta itu membutakan. Begitulah kata sebagian besar orang yang kukenal. Aku lantas menolak jadi buta hingga sebagian besar dari mereka menyebutku Si Picky. Tapi, hal itu tak pernah kuanggap sebagai masalah besar, karena namaku memang Vicky.

Jujur saja, hampir duapuluh tujuh tahun hidup di dunia, aku memang belum pernah memiliki kekasih sama sekali. Satu-dua lelaki pernah hinggap dalam garis-garis batang kehidupanku. Tapi, mataku yang terus terbuka lebar dengan cepat menemukan hal-hal yang tak bisa kuterima untuk ada di dalam diri pasanganku. Maka, para lelaki itu berguguran dengan sendirinya. Bukannya aku mencari pasangan yang sempurna, tapi kurasa, aku hanya enggan mengkhianati arsitek kecil dalam diri yang telah membuat cetak biru pasangan hidup untukku. Hanya itu.

“Kamu mau sampai kapan sih bertahan untuk ngga punya pacar, Vick? Sini aku kenalin ke teman kantorku.. di kantorku, cowo-cowo nya lumayan loh..” Seorang sahabat yang frustasi pernah mengatakan itu padaku ketika kami minum kopi bersama. “Kamu mau yang kayak gimana sih? Biar aku carikan..”

Aku tertawa mendengarnya. Lucu mendengar kalimat seperti itu terlontar dari mulut sahabat sendiri.

“Kamu kayak baru kenal aku aja. Aku santai orangnya..” Aku tersenyum dan menyesap kopi di cangkirku. Sahabatku cuma bisa geleng-geleng kepala dan menatapku dengan kasihan.

Laki-laki seperti apa yang kumau?

Hmm.. tentunya laki-laki yang kumau adalah dia yang belum pernah hadir dalam kehidupanku. Aku bahkan hampir yakin dia tak pernah ada di dunia. Aku bahkan hampir meyakinkan diriku untuk melajang seumur hidup jika dia sungguh-sungguh tak ada di dunia. Hampir. Tepat sebelum manusia itu mewujud di hadapanku.

Manusia itu kutemukan pada ritual malam bulan purnamaku. Ya, ritual malam bulan purnama. Tak pernah ada yang tahu bahwa setiap malam bulan purnama, aku selalu menyempatkan diri naik ke lahan parkir teratas di gedung apartemenku hanya untuk memandangi bulan dari jarak paling dekat yang kubisa. Biasanya, hanya ada aku dan mobil sedanku saja di area parkir yang luas itu. Tetapi, malam itu aku sungguh terkejut ketika sebuah mobil SUV tiba-tiba meluncur ke area ritualku. Mobil itu lantas diparkir tak seberapa jauh dari mobilku sendiri. Pemiliknya adalah seorang pria berdasi hitam, berkemeja putih, dan celana panjang hitam yang membanting pintu mobilnya cukup keras hingga aku berjengit ketakutan. Aku bergerak perlahan menuju pintu mobilku untuk segera pergi dari sana. Saat itu, aku begitu ketakutan dia tengah mabuk atau apa. Kupikir, setelah malam itu, aku tak akan berjumpa dengan manusia itu lagi..

Bulan berikutnya, pria berdasi hitam itu kembali mengganggu ritual malam bulan purnamaku. Tapi, kali ini dia tak membanting pintu mobilnya keras-keras. Dia terlihat lebih rileks dibanding kali pertama kami bertemu. Aku bersyukur lahan parkir ini terlalu remang hingga aku bisa meliriknya sedikit tanpa ketahuan. Kulihat dia mengendurkan simpul dasinya dan bersandar pada mobilnya. Dia lalu mendongak menatap angkasa. Dia melakukan persis sama seperti apa yang aku lakukan selama bertahun-tahun.. Malam itu, aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku sendiri..

Bulan berikutnya, pria berdasi hitam itu ternyata datang lebih dulu di area ritual suciku. Lebih mengejutkan lagi, karena selang beberapa lama aku bersandar pada mobilku, aku mendengar langkah kaki nya mendekat. Aku hampir saja membuka pintu mobil dan kabur saat dia tersenyum ramah dan menyodorkan cangkir padaku seraya mengacungkan termos kecil di tangan yang satunya.

“Kopi?”

***

Jangan pernah menerima makanan atau minuman apapun dari lelaki yang baru kautemui. Begitulah yang aku yakini, maka aku cuma menggenggam cangkir berisi kopi yang dia berikan padaku.

Namanya Bhanu. Dia baru beberapa bulan pindah ke gedung apartemenku. Katanya, dia suka melampiaskan emosinya pada angkasa. Kupikir dia memiliki semacam kelainan sepertiku. Kurasa, pikiran itulah yang membuatku berubah mempercayai manusia itu..

“Fettish sama bulan purnama?” Dia tertawa pelan. “Sudah saya duga.. jadi itulah yang bikin kita papasan selama beberapa bulan ini..”

“Memangnya kamu setiap bulan purnama selalu marah marah?” Iseng aku bertanya.

Dia tertawa lagi, “Ya nggak lah.. Emosi kan ngga melulu marah-marah toh? Saya malah ke sini hampir setiap malam.”

Aku diam sejenak. Hampir setiap malam katanya? Bagaimana bisa ada seseorang yang punya kasur empuk di dalam apartemen hangat memilih menghabiskan hampir separuh dari setiap malamnya di lahan parkir teratas yang dingin ini?

“Kok bisa?”

“Bisa.”

“Kenapa?”

Dia menyesap kopi di cangkirnya. “Kadang, saya hanya merasa pikiran saya terlalu penuh untuk dikurung di dalam apartemen. Jadi, saya pilih ke sini, berharap bisa melepaskan paling tidak separuhnya ke angkasa.”

Mendengar ucapannya, hatiku jatuh dengan sempurna dan meluncur ke kakinya. Dia mengucapkan hal yang telah mengakar dalam pikiranku bertahun-tahun lamanya.

Aku jatuh cinta pada bulan purnama, berharap benda bulat itu menyerap seluruh pikiran penatku selama satu bulan karena hanya bulan purnama yang tak akan mengeluh balik, lalu aku bisa kembali beraktivitas dengan segar sebulan berikutnya.

Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Tanganku perlahan bergerak mengangkat cangkir kopi dalam genggaman menuju bibirku.

***

Semenjak kopi pertama itu, aku dan Bhanu sering menghabiskan waktu untuk pergi minum kopi bersama. Kami pergi minum kopi tidak melulu di malam bulan purnama. Dalam satu bulan, dia bisa mengajakku pergi minum kopi di malam apa saja. Bahkan tak jarang kami pergi minum kopi di malam hujan berangin. Aku menikmati saat-saat kebersamaan kami meski tak pernah ada komitmen yang jelas di antara aku dan dirinya. Untuk saat ini, aku cukup menikmati saat-saat kebersamaan kami saja. Aku tak mau diganggu dengan pikiran mengenai komitmen atau hal-hal semacam itu.

“Kalian pacaran?” Sahabatku memantik rokoknya. Perlahan, asap rokok mulai mengepul di atas meja kami. Aku terbatuk pelan. Pertanyaan yang dilontarkan sahabatku sama menyesakkannya dengan asap rokok yang diembuskannya ke hadapanku.

Apakah arsitek kecil dalam diriku telah berhasil menemukan sewujud manusia yang persis sama dengan cetak biru yang dibuatnya?

“Sejauh ini, aku menikmati kebersamaan kami. Tapi, kamu tahu aku lah..” Aku tersenyum.

Sahabatku terbahak. Dia meletakkan batang rokoknya di atas asbak, lantas mendekatkan wajah dengan riasan tipisnya itu ke arahku. “Kamu menemukan kekurangan apa dalam diri laki-laki ini, heh?”

Kekurangan.. apakah ini sebuah kekurangan, hei arsitek kecil dalam diri?

Aku ingat malam itu, malam bulan purnama kami yang ke sekian, malam cangkir kopi kami yang entah ke berapa. Aku bersandar pada bahunya. Jika boleh kukatakan, setelah hampir duapuluh tujuh tahun aku hidup di dunia, aku akhirnya menemukan cetak biru lelaki idaman yang selama ini tersimpan dalam arsip otakku. Manusia yang sebelumnya tak kukira sungguh sungguh ada di dunia. Hanya saja..

“Maaf, aku jawab panggilan ini dulu sebentar. Kamu tahu lah..” Dia menunjuk ponselnya, menjauh sedikit, mengecilkan suaranya meski tetap bisa kudengar dengan jelas. “Sebentar, Ma. Sepuluh menit lagi Papa pulang..”

***

Cinta itu membutakan. Begitulah kata sebagian besar orang yang kukenal. Aku lantas menolak jadi buta meski cetak biru itu telah kutemukan, karena aku adalah seorang pemilih kawakan. Ya, kubuka mataku lebar-lebar, dia seperti purnama indah yang tetap saja memiliki ketidaksempurnaan jika kau lihat dari dekat. Bhanu adalah suami orang dan aku telah memilih untuk menjadi seorang perempuan simpanan. Cinta tidak membutakan. Tidak. Ini adalah sebuah pilihan.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata