tentang dia: tamu undangan

Ciputat, 28 Juli – 28 Agustus 2012

“Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag I’m not gonna move..”

(The Script – The Man Who Can’t Be Moved)

***

Aku memandangi lapangan basket di hadapanku dengan jutaan tanya merayap dalam kepala. Gedung sekolah ini begitu sepi ditinggal penghuninya yang sedang libur ramadhan, tapi dia malah menculikku ke sini. Pagi tadi, dia datang ke kamarku. Memintaku menemaninya jalan-jalan. Kupikir dia akan membawaku ke taman kota lagi, atau mungkin ke laut, atau ke mana saja tempat yang lebih masuk akal dibanding gedung sekolah SMP. Aku tak mampu menebak isi kepalanya. Apa yang dia ingin nikmati dari sebuah gedung sekolah?

Dia duduk di sebelahku dengan mata yang tak bisa diam. Kedua matanya sibuk mengelilingi gedung sekolah yang sepi ini. Lapangan basket, lorong-lorong kelas, masjid, dan entah ke mana lagi matanya berlarian. Sesekali kutangkap sesimpul senyum pada bibirnya. Lama dia menikmati semuanya sendiri. Hingga kusadari matanya mulai berkaca-kaca. Aku buru-buru mencari saputangan dalam kantong celanaku. Dia tertawa, mengibaskan tangannya ke hadapanku.

“Tidak perlu. Terima kasih..” katanya masih sambil tertawa pelan. Tawa yang lama-lama berubah jadi isakan.

Ada apa?

Dia menggeleng pelan. Menyusutkan air mata dengan telapak tangannya, sambil terisak, atau mungkin juga tertawa, entahlah. Terlalu samar batas antara tawa dan isak bagi gadis di hadapanku ini. Selalu begitu.

“Beberapa hari lalu, aku melihat bintang utaraku..” Katanya di sela tawa dan isak, “makan malam dengan keluarganya. Di antara semua keluarganya, kulihat.. gadis itu.”

Aku tertegun sejenak. Kubelai punggungnya perlahan. Dia mendengus, lalu tertawa lagi. Kali ini dibiarkannya aliran dari mata membasahi pipinya.

“Rasanya.. aku melihat sebuah pelaminan. Berhiaskan payung-payung cantik, singgasana bak raja, lalu ada sepasang pengantin duduk di sana. Ada janur kuning melambai-lambai di halaman rumah. Mengucap selamat datang dengan ramah pada seluruh tamu undangan. Mempelainya begitu tampan dan cantik. Serasi sekali..” Dia tertawa lagi. Pipinya semakin basah. “di antara semua yang indah tersebut.. ada namaku dalam undangannya. Namaku tercetak di sampul depan, menjadi.. menjadi seorang tamu undangan.” Tawanya semakin menjadi. Dia mulai terbahak geli sekali.

“Kau tentu tahu, pernikahan akan selalu menjadi hal yang membahagiakan bagi keluarga, bagi teman, bahkan bagi mantan sekalipun.” Dia melirikku, “kau tahu itu kan?”

Aku mengangguk saja. Entah kenapa kali ini dadaku ikut terasa sesak juga. Aku tak bisa berpikir jernih kali ini, selain mengikuti saja apa yang dia minta.

“tapi bagaimana dengan seseorang yang tak pernah masuk dalam kategori manapun?” Dia meremas kedua bahuku, “seseorang yang tak pernah sedarah denganmu, seseorang yang tak sanggup kausebut teman, tapi seseorang itu juga tak pernah sempat kaujadikan mantan.. bagaimana dengan seseorang yang seperti itu? Haruskah dia berbahagia untuk hal sesakral pernikahan?? Haruskah?”

Aku tertunduk lemah. Berusaha mencari pikiranku di bawah sana. Mungkin terselip di antara tali-tali sepatuku. Tapi di sana hanya terlihat sisa-sisa kebahagiaan yang luntur dan mulai diserap bumi. Aku ikut kehilangan kebahagiaanku kali ini. 

“Bertahun aku berdoa. Semoga dia tidak menikah. Sehingga aku dan dia bisa begini terus selama-lamanya. Berada dalam ambang teman dan mantan kekasih-harapan. Sehingga barangkali suatu hari nanti muncul kesempatan bagiku untuk meluruskan semuanya.” Dia menarik napas dalam-dalam. Dilepaskannya kedua bahuku. Ia menggosokkan punggung tangannya ke pipi, memindahkan basah di pipinya ke sana. Lalu dia bersandar dan memandangi langit yang biru bersih tanpa awan. “jika bisa kukatakan padanya satu kali saja, aku mencintaimu. Dulu, sekarang, dan selamanya. Aku terlalu mencintaimu hingga tak sanggup mengatakannya padamu. Aku terlalu mencintaimu hingga tak sanggup menyebutkan namamu. Aku terlalu mencintaimu hingga membekukan lidahku dulu. Dulu, ketika kau berlutut di hadapanku, ketika kaubilang kaumenginginkanku di sisimu, ketika kau dan aku.. satu.

Dari kejauhan kudengar bunyi kepakan sayap burung. Tak lama kulihat kedua burung melayang ringan di atas kepala aku dan dia. Dia mengekeh pelan. Menoleh lagi padaku,

“Kurasa kedua burung itu menguping ucapanku barusan ya.. mungkin mereka akan menyampaikannya pada dia..” Lantas dia tersenyum memandangi kedua burung tadi terus bergerak terbang ke arah utara. “Sepertinya, jika undangan itu sungguhan datang, aku harus menerimanya dengan berusaha lapang. Lalu pergi sebagai tamu undangan, bersalaman dengan kedua mempelai, bersalaman dengan seluruh keluarga, bersalaman dengan seluruh mantan, dan berbahagia karena hanya aku yang akan menjadi kekasih-harapan rahasia selamanya..” dia melirikku, tersenyum makin lebar dengan sisa basah yang masih terlihat jelas pada kedua pipinya.

Aku segera menggenggam tangannya. Tersenyum,

Kita berdua.. akan menjadi tamu undangan paling bahagia di pernikahannya. Percayalah.. 

***

Comments

  1. Hai, ada yang mau ikut lomba blog bertemakan komedi? Kalo mau cek www.seekoryunus.com yah! Hadiahnya buku radityadika yang bertanda tangan dia lhooo :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata