Perawan

Ciputat, 04 Juli 2012

Afeksi berlebih pada sesuatu akan membuat panca indera mu mati rasa…

***

Perawan. Sebuah kata yang begitu mudah diucap tapi sulit diungkap. Mungkin, kau hanya akan mengungkapnya pada seseorang yang kaucintai habis-habisan. Kauungkap meski jalinan janji suci sehidup semati belum kalian lakukan. Terserah. Tapi aku, dan mungkin jutaan perempuan lain di luar sana ingin tetap menyimpannya secara hati-hati. Sampai tiba waktunya nanti, janji suci sehidup semati digaungkan bersama sang kekasih. Dan kami ini, memiliki alasannya sendiri-sendiri. Mungkin karena takut dihamili. Mungkin karena takut dilaknat Ilahi. Mungkin karena takut diusir papi dan mami. Atau mungkin, karena tak ada lagi yang bisa kauberi pada si calon suami. Yang terakhir itu, sungguh kukatakan tulus dari dalam hati. Jika aku juga masih punya cadangan hati…


Bertahun lalu, ketika segalanya masih utuh tersegel dalam diriku, aku bertemu manusia satu itu. Satu-satunya manusia yang kepadanyalah aku selalu menelanjangi diri. Tak pernah ada selubung kemunafikan di antara kami. Dia genggam tanganku. Kubiarkan dia menggenggam tanganku. Dia belai lembut kepalaku. Kubiarkan dia membelai lembut kepalaku. Dia nyanyikan lagu cinta dengan suara tak bernada terindah yang pernah ada. Kubiarkan nada sumbangnya meresap ke tiap nano jiwaku. Dia menjadi aku. Aku menjadi dia. Tiga tahun kami bersama dalam hubungan yang entah apa pula namanya. Terkadang dia punya ‘kekasih’, sementara aku sibuk menjajaki lelaki. Kami hanya saling mengikat dengan benang merah yang terlampau bening hingga tak kasat mata. Lalu, kiamat* itu datang. Kami berpisah. Mulanya kupikir itu hal yang lumrah di masa remaja. Tapi ternyata tidak. Ada hal-hal yang kulupakan. Aku lupa mengambil hati yang sempat kutitipkan padanya. Aku lupa mengambil jiwa yang sempat kutitipkan padanya. Aku lupa mengambil lagi segalanya. Segalanya yang pernah kutitipkan padanya ketika kukira dia tak akan pergi ke mana-mana. Hanya satu harta berhargaku yang tersisa: perawan.


Maka, kusimpan perawan hingga nanti kumiliki seorang suami. Suami, lelaki sejati yang kelak melindungiku setiap hari. Lelaki sejati yang kelak pasang diri untuk menjaga anak-anak kami. Lelaki sejati yang dengan pemikiran berjuta detik, berhari-hari, memutuskan untuk menjadikanku sebagai istri. Ya, begitulah. Kusimpan perawan bukan karena takut dihamili. Bukan karena takut dilaknat Ilahi. Bukan karena takut diusir papi dan mami. Tapi karena memang tak ada lagi harta diri yang bisa kuberi pada suami. Tidak jiwa dan tidak hati. Hanya perawan. Perawan.


***


*sila baca Jumat Kiamat


Saya tuliskan ini sebagai bentuk kebanggaan saya untuk tetap menjadi perawan di era yang sudah sebegini rawan tanpa bermaksud memojokkan mereka yang telah menyerahkan keperawanannya pada seseorang yang pernah dan mungkin masih dicintai sampai sekarang :)

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata