pemakaman hati

Jakarta, 13 Desember 2009.

Hari ini saya berpakaian serba hitam, mengantar hati ke peristirahatannya yang terakhir. Entah kenapa saya tak merasa sedih sedikitpun, seperti halnya di pemakaman yang lain. Mungkinkah karena bagian diri yang biasanya membimbing saya untuk merasa, kini telah tiada? Saya menempelkan telapak tangan saya tepat di dada, merasakan kekosongan yang nyata di dalamnya. Di dalam sini hati menghabiskan seluruh waktu hidupnya. Dulu, hati selalu berbisik kapan saya harus sedih ataupun bahagia, marah ataupun memaafkan. Hati membimbing saya tanpa pamrih. Terkadang hati jatuh sakit, ditipu oleh pikiran saya yang terlampau sering berimajinasi tentang cinta. Bahkan saya merasa cinta dan pikiran memang berkonspirasi untuk membunuh hati.

Saya memandangi liang lahat mungil tempat hati akan dikebumikan. Hati saya yang malang. Saya tahu betul bahwa hati memang tak akan pernah sembuh setelah sakit keras empat tahun lalu. Kala itu, hati begitu terluka hingga mampu membuat pikiran memblokir semua kenangan tentang dia agar hati bisa kembali sehat. Tapi, saya tahu hati tak akan kembali sehat seutuhnya, karena setelah itu bisikan hati tak lagi akurat. Hati kadang berbisik agar saya sedih tanpa sebab yang jelas. Sementara saat sebab itu ada, hati malah diam. Parahnya, hati sering berbisik bahagia dan membuat saya tertawa pada hal hal yang justru bikin orang menangis bahkan bergidik ngeri.

Saya menyaksikan butir butir tanah mulai menutupi hati di dalam makamnya. Pikiran mulai menangis karena kehilangan partner sekaligus sahabatnya. Yaa, meskipun bagi saya, pikiran turut ambil bagian dalam kematian hati. Pikiran yang iseng berimajinasi tentang cinta membuat hati menolak gravitasi bumi. Hati melayang terbang semakin tinggi saat pikiran semakin diperdaya cinta. Ketinggian yang cukup untuk membunuh hati jika jatuh nanti. Apalagi hati kian rapuh sejak sakit kerasnya empat tahun lalu itu. Benar saja, cinta menipu lagi. Hati sadar pikiran mempermainkannya lagi. Tapi terlambat, hati akhirnya jatuh. Remuk seremukremuknya. Tak mampu lagi diobati. Hati mati. Pikiran mungkin merasa berdosa sekarang.

Saya tak lagi bisa melihat hati. Tanah sudah menutupi hati seluruhnya. Pikiran menangis deras, sementara saya masih tak merasa sedih sedikitpun. Tak merasa perlu meneteskan air mata pada pembimbing saya selama delapan belas tahun empat bulan tiga belas hari ini.

Hati sudah mati. Terkubur di sana. Saya cuma cangkang kosong tanpa isi. Saya mungkin tak akan pernah benar benar menangis lagi setelah ini. Mungkin juga saya hanya akan pura pura tertawa bahagia. Selamat tinggal hati, semoga tenang di dalam makammu. Terima kasih atas bimbinganmu selama ini, kelak saya juga akan menyusulmu ke alam sana dan kita bisa reuni bersama..

Pikiran menangis semakin deras..

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata