Tentang Dia: Cukup (?)

Ciputat - Jombang, 24 November 2014 – 21 Februari 2018

Aku ingin jatuh cinta.
Aku ingin jatuh cinta yang tak bisa dijelaskan dengan biologi, ataupun kimia.
Aku hanya ingin jatuh cinta.

***

Gadis bermata sendu itu berdiri di hadapanku dengan senyuman yang melengkung sempurna dari satu telinga ke telinga lainnya. Gaun putih selutut yang dia kenakan bergerak lembut tertiup angin. Dia lantas duduk di sebelahku tanpa melepaskan jaket denimnya. Aku masih takjub dengan gelora keceriannya yang berlebihan hari ini. Bukannya aku tak senang. Sesungguhnya, menerima ajakan gadis ini untuk minum kopi di kafe seperti sekarang memang menyenangkan. Tapi, terkadang tak berujung menyenangkan. Karena biasanya dia datang padaku dengan kebimbangan atau kesedihan permanen yang tak berujung.

“Jangan melihatku seperti itu.” Kata-kata pertamanya padaku meluncur diikuti kekehan pelan, “hari ini aku sungguh-sungguh sedang bersuka cita.”

Siapa lagi kali ini? Laki-laki brengsek mana lagi yang sedang mendekatimu?

Dia tertawa. Wajahnya merona. Dia lantas mendorong tubuhku pelan, “Jangan dong. Khusus kali ini saja, kuharap dia tidak sebrengsek itu”, Katanya. Dia menunduk, seolah memperhatikan kedua kakinya bergerak-gerak naik turun dengan cepat.

Percayalah, aku sungguh berharap laki-laki ini betul-betul bukan lelaki brengsek atau lelaki yang tak bisa dimiliki meski kautangisi hingga air mata tak tersisa sama sekali.

“Kau tahu, selama ini aku sesungguhnya hanya ingin jatuh cinta yang sederhana. Kau tahu kan, betapa aku muak dengan perasaan-perasaan begitu saja yang bisa dijelaskan dengan biologi atau kimia.” Dia diam sebentar, dahinya mengkerut beberapa detik dan kemudian melanjutkan, “Yah, mungkin kali ini juga tetap bisa diikuti dengan reaksi biologi dan kimia tetapi.. tetapi yang ini berbeda. Aku tak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Belum pernah seperti ini.”

Berbeda bagaimana?

“Kau tahu kan, saat pergi ke restoran, membuka menu… kita kemudian kepengin makan ini, kepengin makan itu banyak sekali seolah tidak tahu kemampuan diri. Tapi kemudian,” Dia menarik napas dalam-dalam karena bicara begitu menggebu-gebu, “kau membuka halaman paket hemat. Di sana lah paket yang memenuhi semua keinginanmu. Memang porsinya tidak banyak, tapi sedikit-sedikit ada dan lebih terjangkau dengan kemampuanmu. Sesuatu yang seolah mengisi segala keinginanmu… mengisi kekosonganmu… apa ya namanya hmm”

Maksudmu… cukup?

Dia meremas tanganku dan mengangguk. “Iya! Cukup! Aku… aku merasa tak butuh yang lebih dari ini. Aku merasa ini sudah cukup. Lalu lalu lalu” Dia semakin bersemangat, tanganku semakin diremas kuat-kuat, “Ketika kau menikmatinya pelan-pelan… paket hematmu itu, kau semakin mensyukuri keberadaannya… hingga rasanya ingin kaunikmati selamanya.”

Jadi, sebetulnya kita membicarakan makanan kesukaanmu atau apa sih?

Dia tertawa dan memukulku pelan, “karena aku… aku begitu merasa cukup dengan manusia ini. Rasanya seperti membicarakan makanan kesukaanku yang tak pernah bosan aku pesan berulang kali di restoran yang sama.” Wajahnya mendekatiku dan tiba-tiba berbisik, “kau tahu, sebelumnya aku tidak pernah ingin bercinta dengan siapapun. Bukan tak ingin, hanya tidak tertarik. Bagiku, bercinta dan jatuh cinta bukan jodoh yang pantas disatukan. Saat aku jatuh cinta, aku tak ingin bercinta. Saat aku ingin bercinta, aku tidak jatuh cinta. Tapi, ini berbeda. Dengan manusia ini… aku merasakan keduanya bersamaan. Ini mengerikan. Ini pertama kalinya dalam sejarah kehidupan percintaanku. Psst. Ingat, ini adalah rahasia di antara kau dan aku.”

Dia menegakkan tubuhnya kembali dan merapikan helai rambutnya ke belakang telinga. Dia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum lebar sekali lagi dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk. Tentu saja ini akan jadi rahasia dia dan aku. Mungkin akan kuceritakan sedikit pada laki-laki itu jika dia sungguhan serius ingin mengambil gadis ini selamanya dariku.

Dia menghela napas dalam-dalam, sambil seolah membersihkan ujung kuku ibu jari kiri dengan ujung kuku ibu jari kanannya, dia bergumam pelan, “aku sungguh berharap ini benar-benar akhir dari petualangan panjangku.” Dia melirikku sedikit, mata sendunya terasa sangat mengganggu, “aku sudah lelah bertualang. Kau tahu, aku hanya ingin pulang.”

Aku termangu sesaat, sebelum kusadari kerongkonganku terasa kering sekali. Kuraih gelas es kopiku. Satu seruput terakhir es kopi meluncur melalui sedotan plastik membasahi kerongkonganku. Ah, andai dia tahu. Aku pun ingin dia segera menemukan tempat untuk pulang, selain aku.

***

Diselesaikan sambil memutar Fourtwnty – Fana Merah Jambu tanpa henti. Lagunya bikin kepengin menari menuju ke pelukan …

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata