Tentang Kita: Maaf.
Jombang, 21 September 2017
Tiba-tiba, radio di sudut kamar
memutar lagu usang yang liriknya serasa menusuk-nusuk telinga, menusuk-nusuk
sesuatu di dalam dada: Chicago – Hard to Say I’m Sorry.
***
Aku melirik jam di sebelah laptopku.
Pukul 1 dini hari. Kupijit kedua alis mataku kuat-kuat sebelum memutuskan untuk
menyeduh kopi lagi. Ini sudah gelas kopi yang ketiga dalam empat jam belakangan.
Pekerja lepas berpenghasilan pas-pasan sepertiku, terkadang harus menerima
dua-tiga pekerjaan sekaligus demi menyokong kebutuhan generasi millennial untuk
eksis dalam pergaulan sana-sini. Mulai dari menulis artikel, hingga mengerjakan
ilustrasi buku, semua kuterima tanpa memperhitungkan jam tidurku yang semakin
terpotong. Lalu, tanpa sadar, aku kini bersahabat dengan kopi. Atau mungkin
lebih tepat jika kukatakan, aku mulai mengenal kopi setelah dia memutuskan
untuk tak lagi menemaniku setiap malam. Ah, betapa aku merindukan e-mail
– e-mail darinya. Tapi, seperti wejangan para tetua sejak jaman dahulu
kala, penyesalan memang selalu datang belakangan.
Dia bukan kekasihku. Dia tak pernah
menjadi kekasihku. Kami hanya berteman sejak masih di sekolah. Kami bersahabat.
Laki-laki dan perempuan tak pernah ditakdirkan untuk bersahabat, begitu orang
bilang. Aku, sebagai seorang idealis dalam berbagai macam hal, meyakini bahwa
aku tak mungkin jatuh cinta kepadanya, pada dia yang menyatakan diri sebagai: “laki-laki
homo yang terjebak dalam tubuh seorang perempuan.”. Dia sama sekali bukan
tipeku. Aku sama sekali bukan tipenya. Tapi, kami cocok dalam berbagai hal.
Maka kami awet bersahabat hingga lebih dari satu dekade lamanya. Mulai dari
urusan makan, nonton film, hingga berbelanja selalu kami habiskan berdua saja.
Berdua saja.
Dalam bertahun-tahun persahabatan
kami, dia beberapa kali menjalin kedekatan dengan laki-laki lain meski tak
pernah ada satupun yang benar-benar menjadi kekasihnya. Berbeda denganku yang
terlalu sering bergonta-ganti pasangan. Dia bahkan nyaris menghapal semua
kekasih-kekasihku dan sejumlah teman-tapi-mesra yang pernah mengisi hari-hariku.
Mulanya aku masih menganggap hal tersebut lucu sekali, tapi lama kelamaan, aku
mulai merasakan ada yang berbeda di antara kami. Saat itu, aku takut. Aku takut
kehilangan persahabatan kami untuk selamanya. Aku terlalu ketakutan akan
kehilangan sahabatku satu-satunya …
Atau mungkin, aku hanya takut jika
ini hanya perasaanku saja. Mungkin, aku takut jika baginya tak pernah ada yang
berbeda dalam hubungan persahabatan kami.
Aku mulai berhenti bicara dengannya.
Aku menolak bertemu dengannya. Aku berhenti membalas e-mail yang dia
kirimkan. Hingga pada satu titik, dia berhenti menghubungiku.
Saat itu, kupikir, semua akan
berjalan seperti biasa saja. Kupikir, cukup mengurangi kehadirannya dalam
hari-hariku maka aku akan baik-baik saja. Tapi, ternyata tidak. Bertahun-tahun
persahabatan kami nyatanya telah membuat dia menjadi kenyamanan bagiku,
kebiasaan bagiku. Bertahun-tahun persahabatan kami nyatanya telah membuat dia
menjadi semacam rumah bagiku, sebuah suaka bahkan. Dia sendiri mungkin
menganggap aku hanyalah lelaki brengsek yang memuja perempuan-perempuan rupawan
dengan tubuh bak model kenamaan. Dia sendiri mungkin menganggap aku hanyalah
lelaki flamboyan yang mengumbar cinta dengan murah ke berbagai jenis perempuan.
Meski harus kuakui, memang sulit bagiku untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh
cinta padanya. Tapi, ini juga bukan birahi sesaat. Aku bahkan tak pernah
membayangkan kami menghabiskan sesi panas dalam fantasiku yang paling liar
sekalipun. Bukan itu …
PING.
…. posted her photo after a while. Take
a look!
Bunyi notifikasi dalam ponselku
menyadarkanku dari lamunan tentang dia, sahabatku. Notifikasi yang datang dari
salah satu akun media sosialnya. Kubuka notifikasi itu dengan nafas tertahan,
lalu muncul sebuah foto dirinya yang tertawa lepas bersama laki-laki lain. Tarikan
nafasku terasa sakit setelah melihat foto itu. Rasanya begitu terlambat bagiku
untuk meminta maaf padanya dan mengatakan bahwa aku memang tidak pernah jatuh
cinta kepadanya, bahwa aku memang tak pernah membayangkan untuk bercinta
dengannya, tetapi aku pernah dan akan selalu memimpikan kami menjadi tua
bersama hingga mungkin hanya Tuhan yang akan memisahkan kami berdua. Aku dan
dia.
Kupijit kedua alisku kuat-kuat
sekali lagi. Pukul 1.30 dini hari. Aku kembali duduk menghadapi laptopku ditemani
gelas kopi ketiga yang mulai dingin, sahabat baruku.
***
Comments
Post a Comment