Tentang Dia: Pulang?

Pamulang, 17 - 28 Agustus 2015

Seburuk-buruknya rumah, pulang akan selalu menjadi sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Tetapi, pastikan bahwa tempat yang selama ini kita anggap rumah, tidak menjadi sengketa dengan orang lain. Pastikan ya?

***

Langit malam terlihat cerah sekali hari ini. Meskipun berkali-kali aku harus merapatkan jaketku tinggi-tinggi hingga ke leher, tapi pemandangan langit malam yang diramaikan oleh jutaan titik kecil bintang itu rasanya cukup untuk melunasi dinginnya suasana di warung makan antah berantah ini. Ya, warung makan antah berantah. Semua berawal ketika dia tiba-tiba muncul di depan rumah kosku sore tadi. Tanpa mengizinkanku bertanya apa-apa, dia memintaku berganti dengan pakaian yang lebih hangat dan memaksaku membawa jaket. Lalu seperti biasa, aku menjadi supir yang tak tahu arah tujuan sementara dia dengan santai dan sangat terlatih, karena sudah sering mengerjaiku dengan penculikan supir seperti ini, memberi petunjuk jalan bagiku. Mobilku terus melaju ke arah Bandung, kemudian mendaki ke Lembang, hingga akhirnya berhentilah kami di warung makan antah berantah ini. Dia cuma nyengir ketika kutanyakan bagaimana dia bisa mengetahui tempat terpencil seperti ini.

Warung makan antah berantah ini terletak di pinggir jalan yang agak menurun. Warung makan ini berbentuk rumah panggung yang pemandangannya adalah perbukitan nan luar biasa indah. Dia yang entah sudah keberapa kalinya datang ke sini, segera menyeretku ke meja terbaik: terletak di siku-siku terjauh rumah panggung ini yang menjorok persis di atas lereng bukit. Dari tempatku duduk, pemandangan menjelang petang terlihat cantik sekali! Secantik gadis yang duduk di hadapanku ini. Gadis cantik yang selalu bermata sendu.

Jadi, ada apa dibalik penculikanku hari ini?

Dia tertawa pelan setelah aku melontarkan pertanyaan yang sesungguhnya memang tak perlu dilontarkan. Dia tahu bahwa aku selalu tahu ada sesuatu yang terjadi jika dia muncul menemuiku. Bahkan tak jarang sesuatu yang terjadi bukan hal yang baik untuk jiwanya.

"A-aku ingin kau menghabiskan makananmu dulu. Aku ingin kau menikmati suasana ini dulu." Dia tersenyum malu-malu sambil menjulurkan sedikit lidahnya ke arahku. Pandangannya lalu beralih ke hamparan perbukitan yang telah menghitam, ke langit malam yang dipenuhi titik-titik cahaya kecil, hingga ke kota Bandung entah sebelah mana itu yang lampu kotanya menjadi semacam polusi cahaya bagi bintang di langit. Mata gadis di hadapanku ini mulai perlahan berubah. Aku tahu ada kamu yang sudah menelusup masuk dalam pandangan matanya. Dia menarik napas dalam dan kembali memandangku seraya tersenyum hambar. "Bagaimana perasaanmu dengan tempat ini? Pernahkah kau... terkadang merasa pulang di tempat yang padahal begitu asing bagimu? Pernahkah?"
Dia mengaduk sedikit sisa kopi di gelasnya yang sudah terlalu dingin untuk diminum kembali. Dia tertunduk dan aku mendengar tawa kecilnya pelan saat aku tak menjawab pertanyaannya. Pertanyaan yang kami berdua tahu, memang tak perlu dijawab.

"Kadang, aku memiliki perasaan demikian. Perasaan pulang yang aneh itu." Dia terkekeh pelan, tapi terdengar seperti sesenggukan kecil di telingaku. "Kadang, aku merasa pulang meski tempat itu begitu asing bagiku. Dan kau tahu apa," Dia mengangkat wajahnya dan menatap mataku, "dan kau tahu apa, tempat-tempat seperti itu kemudian menjadi tempat yang entah kenapa malah akan sungguhan sering kukunjungi. Tempat-tempat itu bahkan tak jarang akan benar-benar menjadi tempat bagiku untuk pulang."

Matanya mulai berkaca-kaca. Aku cepat cepat meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Kuharap genggaman itu akan menghentikan aliran air yang tak kuinginkan tumpah keluar dari dalam rongga matanya. Tapi usahaku tak terlalu berhasil. Bulir-bulir kaca cantik yang berbaris malu-malu di rongga matanya itu pecah juga, kemudian turun mengalir dengan anggun menuju pipi gadis di hadapanku ini.

"Kau tahu, dulu sekali, setiap aku akan mengikuti seleksi masuk sekolah, aku selalu lulus seleksi tepat di sekolah yang membuatku merasa pulang. Dari sekian sekolah yang kudatangi, pasti ada satu tempat yang rasanya memelukku erat. Satu yang rasanya seperti rumah dan di sana lah aku kemudian sungguhan lulus seleksi dan bersekolah. Bahkan hal seperti itu terus kurasakan hingga aku mengikuti interview pekerjaan di beberapa perusahaan. Tempatku bekerja kini adalah tempat yang memanggilku untuk pulang. Aku selalu menyukai perasaan-perasaan pulang di tempat asing seperti itu. Karena dengan adanya perasaan-perasaan itu, aku tahu, di manapun aku berada, akan selalu tersedia tempat-tempat ternyaman bagiku untuk, mungkin, sekadar aku singgahi." Dia menghela napas panjang dan tersenyum kepadaku, "tapi, kau tahu, kini aku merasa ketakutan. sedih dan ketakutan karena perasaan pulang itu pernah hadir di tempat yang tak akan pernah aku kunjungi lagi. Tempat yang bahkan tak kuingat lagi alamatnya. Tempat yang bahkan, jika boleh kutambahkan, semestinya kini terlarang bagiku. Bagaimana bisa perasaan itu muncul di tempat seperti itu? Apakah perasaan itu telah mempermainkan aku? Apakah pikiranku telah memunculkan sendiri perasaan itu? Atau apakah perasaan itu sungguh sebuah pertanda bahwa suatu saat nanti, aku akan benar-benar pulang ke sana?"

Tanganku tergerak meraih pipi gadis di hadapanku ini. Kuusap pelan jejak air di pipinya dengan ibu jariku. Sementara dia kembali mengulang pertanyaan retorisnya,

"Apakah aku akan benar-benar pulang ke sana? Bagaimana jika aku benar-benar akan pulang ke sana?"

Dia tak menyebutkan nama tempat itu dengan mulutnya. Tidak. Tapi matanya telah berlari keluar dan memasuki pikiranku lalu membisikkan sebuah nama tempat. Nama tempat yang membuat jantungku tercelus ke dasar perutku: rumahmu. Ya. Kamu yang pernah mengisi hari-harinya dan mencampakkannya demi perempuan lain. Kamu yang kudengar, akan segera melangsungkan pernikahan. Kamu boleh tertawa, karena memang mustahil dia akan pulang ke rumahmu, bukan? hmm?

***


diselesaikan sambil memutar sebuah lagu berulang-ulang: Major Lazer and Dj Snake Feat Mø - Lean On

lagunya betul-betul nikmat sekali di telinga! :D

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata