Cincin di Saku Celana

Ciputat, 28 April 2015

Aku ingin berhenti berlari. Maukah kau menghentikan kakiku? 

***

Sudah hampir satu jam aku berdiri di depan cermin. Tak terhitung sudah berapa kali pula aku merapikan rambut dan setelanku. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagiku, sepenting sebuah cincin emas yang tersimpan dalam kotak beludru biru tua di saku celanaku. Cincin yang akan segera kupersembahkan pada perempuan yang akan kutemui sebentar lagi.

Semua berawal dari pertemuan terakhir kami, sekitar satu bulan yang lalu. Aku bahkan masih ingat saat itu dia memakai gaun putih pendek selutut bermotif titik titik cokelat halus, tak lupa dia juga memakai jaket jins biru kesukaannya. Dia duduk tersenyum ramah sambil menyeruput es kopi kedua di mejanya. Aku malu sekali karena datang terlambat, tambahan lagi dia tak marah padaku. Maka, aku memilih mengutuk diriku sendiri dibanding kemacetan jalanan ibukota .

Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami membicarakan pekerjaan masing-masing, film baru, cuaca, hingga drama politik di berita-berita. Lalu dia mulai membicarakan tentang orang tuanya… “Ayahku menginginkan aku menikah tahun ini juga.” Katanya sambil tersenyum melirikku.

Aku nyaris tersedak es kopi yang sedang kuseruput pelan-pelan. Orang tuanya ingin dia segera menikah?

“J-jadi sekarang kau sudah punya kekasih?” Aku berusaha menutupi keterkejutan dalam nada bicaraku. Usaha yang sulit sekali, ternyata.

Dia menggeleng. Aku bernapas lega tapi merasa khawatir sekaligus. Bagaimana bisa orang tuanya meminta dia menikah sementara dia sendiri tak punya kekasih sama sekali? Aku tak berani berpikir bahwa dia akan dijodohkan dengan salah satu anak dari rekan kerja ayahnya.

“Kau tahu aku tak punya kekasih.” Dia menunduk menatap gelas es kopinya dan tertawa pelan. “Ayahku lucu sekali. Dia ingin aku menikah tapi tak ingin menjodohkan aku dengan siapapun.” Dia diam sesaat. Jari telunjuknya bergerak memainkan sedotan dalam gelas es kopinya. “Kaupikir, bagaimana caranya aku menikah jika aku tak punya kekasih sama sekali?”

Menikahlah denganku!

Kuteriakkan kalimat itu di dalam hati. Lucunya, yang keluar dari mulutku menjadi kebalikannya, “Carilah seseorang untuk kaunikahi.”

Dia diam sesaat dan tertawa sekali lagi. Kali ini tawanya lebih keras dibanding sebelumnya. “Tentu saja. Untuk itulah aku mengatakan hal ini padamu. Tak adakah temanmu yang bisa kunikahi? Carikan aku satu yang baik-baik. Kau sudah bertahun-tahun mengenalku. Kurasa kau tahu laki-laki yang pantas untukku, kan?”

Dia menatapku. Matanya berlari ke dalam mataku. Kupalingkan pandanganku ke dalam gelas es kopiku seraya mengangguk.

“T-tentu saja.”

“Aku tunggu kabar darimu, ya?”

Aku mengangguk sekali lagi, masih tak berani menatap matanya. Aku tak ingin dia mengetahui rahasia yang kusembunyikan di dalam mataku sejak bertahun-tahun lalu. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku tak ingin mencarikan lelaki lain untuk dia nikahi. Aku tak ingin dia tahu, bahwa akulah yang akan melamar dirinya nanti.

***

Keesokan harinya, aku buru-buru pergi ke toko perhiasan. Kupesan sebuah cincin emas spesial untuk melamar dia. Perempuan yang selalu kusediakan jadwal kosong khusus kapanpun dia ingin bertemu denganku. Bagaimana lagi harus kujelaskan bahwa sejak pertama melihat perempuan itu berseragam putih abu-abu, aku sudah jatuh hati padanya? Ya. Dia tak pernah tahu bahwa aku, yang telah menjadi tempat sampah untuk segala curahan hatinya, tempat dia menangis dan tertawa setiap saat ini, sesungguhnya menyimpan rasa cinta yang kelebihan dosis kepadanya. Meski aku tahu, baginya, tak ada cinta lain selain cinta pertamanya di sekolah menengah pertama dulu, aku tetap bersedia mencintainya sepenuh hati.

Mungkin, aku tak pernah berani menyatakan perasaanku karena takut merusak persahabatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya ini. Tetapi, jika orang tuanya ingin dia segera menikah. Mana mungkin aku bersembunyi dalam cangkang dan menontoni dia menikah begitu saja? Aku akan meyakinkan dirinya bahwa aku dan dia telah menjadi tim yang hebat sejauh ini. Mungkin juga akan menjadi tim yang hebat dalam jenjang hubungan selanjutnya.

Maka, di sini lah aku. Aku berdiri di depan cermin, sekali lagi merapikan rambut serta setelanku, sekali lagi meraba kotak mungil di dalam saku celanaku. Benda mungil itu tak boleh ketinggalan sama sekali!

Tak sampai satu jam, aku sudah berada di kafe favorit kami berdua. Aku duduk dengan jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. Kepalaku terus mengulang-ulang kalimat yang kususun semalaman seperti merapal mantera.

Kau dan aku bersahabat sekian lama. Aku tahu segala kekuranganmu, segala kelebihanmu. Kupikir, hanya ada satu laki-laki yang pantas kaunikahi. Laki-laki itu.. aku. Maaf, karena aku mencintaimu sejak kita masih duduk di bangku SMA. Maaf, karena aku menyembunyikannya selama ini. Aku tak peduli jika kau mencintai laki-laki lain atau pernah memacari si tukang selingkuh itu tetapi, tak ada yang pantas menjadi suamimu, selain aku. Menikahlah denganku.

Dia melambai dari kejauhan dan berjalan cepat menuju meja tempatku menunggu. Wajahnya berseri-seri. Wajah berseri-seri yang tak seperti biasanya. Keraguan segera menyerbu hatiku.

“Sudah lama menungguku? Maaf, ada seseorang yang harus kutemui lebih dulu.” Katanya sambil menghempaskan diri ke kursi di sebelahku. Dia mengibaskan tangan berkali-kali ke wajahnya. Dia tersenyum, “Aku capek sekali beberapa hari ini. Banyak kesibukan. Sudah lama tak kudengar kabar darimu sejak pertemuan kita yang terakhir itu, ya? Ada apa kali ini?”

Aku baru membuka mulutku ketika dia menggenggam tanganku kuat-kuat, tubuhnya seketika menegak dan senyumnya melebar.

“Tunggu! Biar aku dulu yang bercerita padamu. Ini sesuatu yang penting sekali!” Dia bicara dengan cepat dan tak sabar.

Keraguanku semakin terasa menyudutkan. Tiba-tiba saja aku tahu apa yang akan dia ucapkan. Kalimat yang tak ingin kudengar. Tidak hari ini. Tidak.

“Aku akan menikah!”

Keluar sudah.

Wajah perempuan yang bertahun-tahun menjadi sahabatku itu merona penuh kebahagiaan setelah mengucapkan kalimat itu dengan jerit tertahan. Tanganku masih ada dalam genggaman tangannya Dia meremas tanganku kuat-kuat, menjalarkan kegirangan yang berubah menjadi kekosongan yang dalam di hatiku. Aku berusaha tersenyum. Usaha yang, sekali lagi, sulit ternyata. “Siapa laki-laki beruntung itu?”

“Seseorang yang diperkenalkan oleh teman kerjaku. Aku menceritakan soal keingininan ayahku pada teman kerjaku. Lalu dia ingat tentang sahabat lelakinya yang juga sedang mencari calon istri. Kami bertemu, berbincang-bincang, dan kurasa dia cukup baik untukku.” Dia tersenyum, “lelaki itu mengingatkanku pada dirimu.”

Hatiku sakit mendengar itu. Kenapa dia harus menikahi seseorang yang mengingatkannya padaku dan bukannya menikahiku? Kenapa?

Dia menatapku. Senyuman lebarnya lama kelamaan memudar. Matanya mulai berkaca-kaca tetapi dia berusaha tertawa pelan.

“Aku akan jujur padamu,” katanya, “ketika ayahku menginginkan aku menikah tahun ini juga, sesungguhnya kau adalah lelaki pertama yang terlintas di dalam kepalaku. Kupikir kau dan aku sudah bersahabat cukup lama. Kupikir kau dan aku sudah saling memahami satu sama lainnya hingga tak akan sulit lagi beradaptasi. Kupikir kau dan aku selama ini mencari pelengkap diri yang terlalu jauh hingga tak menyadari bahwa kita yang sedekat ini sesungguhnya telah saling melengkapi. Kupikir, untuk itulah aku menceritakan keinginan ayahku padamu sebulan yang lalu. Tetapi, kurasa hanya akulah yang berpikir seperti itu. Bahkan, aku tak mendengar kabar darimu hingga pagi tadi…”

Jiwaku seolah runtuh melesak ke dalam bumi. Aku melewatkan segalanya. Aku melewatkan dia. Aku melewatkan kami. Aku melewatkan segalanya.

Genggaman tangannya mengendur. Dia tertunduk dan mulai terisak. Aku diam. Pikiranku kacau. Tiba-tiba aku ingin menghajar diriku sendiri yang duduk tanpa menyadari semua pemikirannya sebulan lalu di tempat yang sama ini. Tiba-tiba aku ingin meracuni diriku yang tak memberi kabar karena terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk hari ini. Dia ingin aku menikahinya. Dia ingin kami menikah. Dia…

“Lelaki itu, yang akan kunikahi, mengingatkanku padamu.” Dia menatap mataku lagi, kembali tersenyum. Ada air yang meleleh keluar dari matanya, dia buru-buru mendongak, mengibaskan tangannya ke wajah dan tertawa pelan. “Maaf aku jadi begini. Kumohon jangan berpikir macam-macam karena pengakuanku ini..”

Cepat-cepat kuserahkan kotak tisu di atas meja kepadanya. Dia menempelkan selembar besar tisu itu ke wajahnya sambil tertawa separuh terisak. Debaran jantungku tak jelas iramanya. Pikiranku berceceran di lantai kafe. Kepalaku mendadak kosong.

Matanya masih juga berkaca-kaca ketika tisu akhirnya dia singkirkan dari wajahnya yang basah,

“Kita.. masih tetap berteman, kan?” Tanyanya. Aku tak bisa menjawab.

Dia ingin aku menikahinya. Dia ingin kami menikah.

“Lupakan saja pengakuanku tadi. Terlalu memalukan.” Dia tertawa sekali lagi, “Jadi, apa yang ingin kaukatakan hari ini? Kukira tadi kaubilang ini sesuatu yang penting. Aku akan tertawa semakin keras jika kau benar-benar telah mencarikan lelaki yang pantas untuk kunikahi seperti janjimu sebulan yang lalu itu. Ayo cepat katakan padaku. Apa yang mau kaubicarakan hari ini? Hmm?”

Potret pertemuan kami sebulan yang lalu berkelebat di kepalaku. Mendadak, saku celanaku terasa panas membakar.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata