M E N A N G I S


Ciputat, 15 Februari 2015

Menjelang petang. Hujan. Jalur bebas hambatan. Lagu-lagu sendu dinyanyikan oleh pengamen berbola mata buatan. Air mataku seketika ingin berlari keluar, ingin bermain bersama hujan.

***

Tiba-tiba aku ingin menangis. Meski aku tak yakin untuk apa (atau siapa?) aku ingin menangis. Mungkin ini karena pengaruh hujan di luar sana. Mungkin karena hujan, lampu oranye jalur bebas hambatan yang temaram, ditambah dengan lagu-lagu sendu yang dinyanyikan oleh pengamen berbola mata buatan. Entah mana di antara semua itu yang lebih dominan hingga membuatku benar-benar ingin menangis sekarang.

Lalu aku ingin meraung. Aku ingin mencaci. Aku ingin mengacak-acak semesta. Meski aku tak yakin untuk apa (atau siapa?) aku ingin melampiaskan segala emosi yang berkecamuk di dada itu.

Hingga seperti ada sebuah tombol yang otomatis ditekan, ingatanku mulai memutar sebuah film lama. Potongan-potongan cerita di masa lalu yang bahkan tak ingin kusebut sebagai masa lalu. Ah. Aku melihat aku berusaha mencekik diriku sendiri. Aku melihat aku berusaha membunuh diriku sendiri. Aku melihat aku berusaha membuat diriku yang meraung-raung itu mati kehabisan nafas alih-alih meracau tanpa batas.

Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku ingin menangisi aku yang meraung-raung, aku yang mencaci, aku yang berusaha mengacak-acak semesta. Aku ingin menangisi aku yang berteriak-teriak putus asa pada entah.

“KAU. Di mana kauletakkan pikiranmu? Kaupikir perselingkuhanmu tidak pernah aku ketahui? Mataku tak melihatnya. Memang tidak! Tapi tidakkah kau menyadari bahwa ada aku di setiap barang yang lekat di tubuhmu? Ada aku di tangan itu! Ada aku di kaki itu! Ada aku di tubuh itu! Bahkan ada aku di sisi ranjang itu! Tidakkah kaupernah berpikir bahwa AKU MENYAKSIKAN SEGALANYA! Aku menyaksikan kau merayakan hari jadi bocah perempuan itu! Aku menyaksikan kau menyuapkan kue ke dalam mulut bocah itu! Aku menyaksikan kalian berpelukan di atas kendaraan yang seharusnya menjadi singgasana pribadiku itu! Dan tidakkah kau menyadari bahwa aku juga menyaksikan birahi yang memuncak ketika kau menyetubuhi bocah itu di ranjangmu! Tidakkah kau menyadari bahwa setiap aku yang menyaksikan itu menangis hingga air mata pun habis! Tidakkah kau menyadari bahwa setiap aku yang lekat di tubuhmu itu MATI setiap menyaksikan semua perselingkuhan itu! Berkali kali. Ya! AKU MATI BERKALI KALI! Aku menangis dan mati berkali-kali! Dan kau, DI MANA KAULETAKKAN PIKIRANMU? DI MANA KAUSIMPAN PERMINTAAN MAAFMU? Bagaimana.. bagaimana aku bisa memaafkan jika kau bahkan tak pernah memintanya dariku, bodoh? jangan tanya di mana kuletakkan pikiranku! Jangan tanya, bodoh!”

Tiba-tiba aku semakin ingin menangis. Bukan untuk apa (atau siapa). Aku hanya ingin menangisi aku yang menangis. Seorang diri.

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata