Perjalanan di Atas 100 kilometer.

Ciputat, 17 September-03 November 2013


Aku… jatuh bebas.

***

Saat itu pukul sebelas malam, entah sudah berapa banyak markah penunjuk kilometer jalan di jalur bebas hambatan itu kaulewati, tetapi matamu masih terjaga. Kaucoba memejamkan mata, tetapi pikiranmu tak mau berhenti bicara. Pikiranmu sibuk bicara tentang dirimu yang masih saja menjebak diri di masa lalu. Sesungguhnya enggan kauakui bahwa manusia yang memaksamu membuang semua masa lalu itu benar adanya. Buat apa menyimpan mayat perasaan yang tak bisa kauhidupkan sama sekali itu? Kenapa harus takut bergerak maju untuk mencoba jatuh lagi ke lain hati? Kenapa harus takut disakiti? Bukankah jatuh cinta dan patah hati adalah sebuah siklus yang menunjukkan bahwa kau adalah manusia sejati? Buat apa bertahan menjadi sewujud badan yang tak punya hati?

Serangan tanda tanya itu membuat kantuk benar-benar enggan hinggap di kedua matamu. Diam-diam kau menyesali pertemuanmu dengan manusia itu. Seharusnya, kau tetap hidup tenteram dalam kenangan masa lalumu, lantas mati sebagai biksu suci tanpa pernah berpasangan sama sekali. Seharusnya begitu, jika manusia itu tak muncul di hadapanmu dan menawarkan sebuah kehidupan baru yang tak pernah terlintas sebelumnya di pikiranmu: pernikahan, keluarga, anak.

Sudah lebih dari sepuluh markah lagi yang kaulewati, namun matamu masih juga tak mau terpejam. Sementara sisi-sisi jalan yang kaulewati terus menerus berganti. Terkadang kau melewati pekat gelapnya perbukitan dan perkebunan yang tanpa penerangan, kadang kau melewati sekumpulan titik-titik lampu kecil di pemukiman kota sekitar sana. Kendaraanmu melaju mendekati dan menjauhi semua itu dengan cepat dan pikiranmu tak sedikitpun terasa lelah untuk terus bicara.

Plat nomor kendaraan yang kautemui di jalan perlahan mulai berganti. Plat berhuruf depan D sedikit demi sedikit tergantikan plat berhuruf depan B. Pertanda kau hampir tiba di kota tujuan, Jakarta. Kaumenoleh ke belakang, Bandung tak lagi kelihatan. Sedikitpun tak kelihatan. Jika dan hanya jika kauingin kembali ke sana, kau tak bisa seenaknya turun di sini, melompati pembatas jalan, lantas menghentikan mobil siapa saja di jalur seberang untuk kembali ke Bandung. Jika dan hanya jika kau benar benar ingin kembali ke sana, kau harus keluar jalur bebas hambatan ini, memutari jalan, baru kemudian masuk jalur bebas hambatan menuju Bandung kembali. Tetapi tentunya, kau tak bisa mengharapkan pengalaman yang serupa dengan yang sebelumnya kau alami. Tidak.

“Bu, belum tidur? Saya mau mampir ke rest area sebentar, mau dibelikan sesuatu?” Pertanyaan supirmu itu menghentikan segala ocehan pikiranmu.

Kaumengalihkan pandanganmu dari jalan, tersenyum sedikit saat menatap supirmu dari kaca, “Kayaknya saya butuh kopi. Tapi jangan terlalu manis kayak biasa, kali ini saya mau rasa pahit kopinya masih terasa sedikit. Terima kasih..”

Supirmu mengangguk pelan.

Kau kembali memandangi jalan, berusaha untuk tidak tersenyum sendiri karena di dalam hati kau mulai tertawa-tawa. Ah, ternyata butuh perjalanan lebih dari seratus kilometer untuk menyadari bahwa masa lalu akan selalu ada di belakangmu. Ternyata butuh perjalanan lebih dari seratus kilometer untuk menyadari gelap dan terang akan datang silih berganti sebelum akhirnya kautiba di tujuan akhirmu. Ya ya, ternyata butuh perjalanan lebih dari seratus kilometer untuk menyadari bahwa jatuh cinta dan sakit hati adalah siklus hidup yang sudah semestinya kaulewati, bukan kauhindari.

“Bu, ini kopinya. Ngga terlalu manis, persis seperti yang ibu minta.”

***

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata