Mungkin Kita ...

Ciputat, 03-04 September 2013

What am I to you?

***

Ponselmu bergetar pelan. Jantungmu meluncur jatuh ketika membaca nama si pengirim pesan yang telah menggetarkan ponselmu itu.

Kamu di mana? Lagi apa? Ngopi yuk..

Napasmu terasa berat seperti hari-hari lain ketika manusia itu mengirimkan pesannya. Manusia yang muncul dan hilang sesukanya. Manusia yang sanggup melemparmu ke surga detik ini dan kembali menendangmu ke bumi detik berikutnya. Lalu, di dalam kepalamu akan mulai terjadi perkelahian hebat. Separuh dari pikiranmu mengutuk, mencaci maki, memaksamu untuk mengabaikan pesan itu. Sementara, separuh sisanya terbang melayang-layang dan kepengin segera membalas: Yuk! Di mana? Aku segera datang!

Manusia itu sudah berbulan bulan ini mengacaukan pikiranmu. Jenis manusia yang bahkan belum berani kaudefinisikan. Apakah dia termasuk ke dalam golongan teman biasa? Teman dekat? Teman spesial? Atau malah teman senang-senang yang cukup hadir saat satu sama lain saling membutuhkan dan boleh hilang lagi sesudahnya? Kau belum berani mendefinisikannya.

Kadang kau berpikir, mungkin kalian adalah sepasang teman biasa. Tapi, setelah kaupikir ulang, kau merasa tak ada teman biasa yang saling berkirim pesan seharian penuh. Lantas, kau berpikir, mungkin kalian adalah teman dekat. Tapi, setelah kaupikir kembali, kau menyadari tak ada teman dekat yang saling membelai manja, memberi kecupan mesra, dan tidur bersama. Kemudian kau berpikir, mungkin kalian adalah teman spesial. Tapi sejauh apapun kau berusaha mengingat, komitmen untuk menjadi sepasang teman spesial itu tak pernah diucapkan bersama. Maka, kau sekuat hati mencoba membuang pikiran bahwa kalian hanya lah sepasang teman senang-senang saja..

Ponselmu masih kaugenggam erat-erat. Kau baca isi pesan itu berulang-ulang. Kau belum memutuskan akan membalas pesan itu dengan kalimat apa. Jika mengingat betapa manusia itu seringkali menyanggupi apa yang kau katakan padanya, sudah semestinya kau pergi menemuinya. Tetapi, kau juga tak akan lupa hari-hari ketika dia seolah membuangmu begitu saja, menjadikanmu nomor ke sekian dalam kehidupan pribadinya. Pikiranmu semakin berisik sekarang. Kau sungguh tak tahu hendak menjawab apa.

Kau nyaris melepaskan genggaman tanganmu ketika ponselmu bergetar sekali lagi. Manusia itu mengirim pesan lainnya.

Kok ngga dijawab sih?? Kamu di mana?? Aku ke sana ya? Kita ngopi..

Kauhela napasmu dalam dalam. Kaurasakan nyeri di dalam dada saat napasmu kauhela perlahan. Di dalam kepalamu, pikiran pikiranmu masih sibuk beradu argumen sementara jari jarimu mulai mengetik balasan untuk manusia sialan itu. Mungkin kalian bukan siapa siapa, tapi kau tahu pesan itu tak mungkin kauabaikan, bahkan jika harus berisi sebuah penolakan..

Matamu memejam sejenak ketika jawaban itu akhirnya kaukirim kepadanya:

Aku baru pulang kantor. Jemput sekarang deh.. Aku tunggu ya..

Pesan terkirim.

***

Bukan hanya sekadar penghibur diriku ini, sayang
Bukan pula sekadar pelepas rindumu, oh sayang
Sakit hatiku, kau buat begini

Kau datang dan pergi sesuka hatimu
Oh kejamnya dikau, teganya dikau padaku
Kau pergi dan datang sesuka hatimu
Oh sakitnya hati, bencinya hati padamu

Sakitnya hati ini, namun aku rindu
Bencinya hati ini, tapi aku rindu

(Benci Tapi Rindu, versi Ello)

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata