Tentang Dia: Jatuh atau.. Menjauh?

Ciputat, 06 Juni 2013

Ada apa di dasar jurang yang tak terlihat sama sekali itu? Hmm?

***

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bertemu dengan dia. Dia sedang sibuk dengan pekerjaan barunya, hingga sama sekali tak sempat mengunjungiku. Padahal, aku menanti-nantikan cerita terbaru tentang kamu. Maaf, siapa namamu tadi? Salam kenal..

Tapi, beberapa hari yang lalu, dia akhirnya datang mengunjungiku. Seperti biasa, dia membawa dua kaleng kopi dingin. Lalu, pertanyaan anehnya dilontarkan kepadaku ketika dia sudah duduk di atas tempat tidurku.

“Jika kamu dihadapkan pada sebuah jurang, yang dasarnya sama sekali tidak kelihatan, apakah kamu akan melompat jatuh? Atau kamu berbalik arah dan pergi menjauh?”

Aku mengangkat bahu. Kutenggak kopi dinginku. Aku tak pernah benar benar merasa dia butuh mendengar jawaban dariku tiap kali pertanyaan aneh meluncur keluar dari mulut mungilnya.

Dia menarik nafas dalam dalam dan menekuk lututnya sedemikian hingga akhirnya dia menyandarkan dagu pada kedua lutut mulusnya yang mengintip malu malu dibalik rok yang sedikit tersibak.

“Belum lama ini, aku kembali bermimpi tentang jurang.” Dia melirikku, “Kukira aku memang belum bercerita tentang jurang jurang itu padamu.”

Aku mencoba mengingat, lantas menggeleng pelan. Sepertinya memang belum pernah..

“Dari dalam jurang itu.. aku seolah mendengar suara suara yang memanggilku. Seolah ada seseorang yang akan menyambutku di dasar jurang itu. Dalam mimpi mimpiku sebelumnya, aku selalu terjun melompat ke dalam jurang. Jatuh bebas. Sejujurnya aku suka sensasi jatuh itu. Sensasi jatuh yang memacu adrenalinmu semaksimal mungkin. Sejujurnya, itu cukup menyenangkan juga.” Dia terkekeh pelan lalu kembali menatap lurus lurus ke depan, “Namun, dalam setiap kesempatan itu, aku selalu hancur menjadi serpihan. Nyatanya, tak pernah ada yang menyambutku di dasar jurang. Dasar jurang jurang itu hanyalah batuan cadas. Rasa sakitnya bahkan sulit kugambarkan. Yah, kau tahulah, jika hancur berkali-kali.. rasa sakitnya akan semakin menjadi. Meski kadang aku juga berpikir, barangkali nanti aku akan terbiasa hingga tak masalah untuk jatuh lagi kapan kapan. Tapi.. kali ini, aku hanya diam memandangi jurang itu. Kau tahu, kini aku malah ketakutan..” Dia menggigit bibir bawahnya sedikit.

Oh Tuhan.. Aku ingin sekali meraih kepala dia dan membelainya pelan. Apakah kamu juga ingin membelai kepala dia jika mendengar kisah tentang jurang ini?

“Aku takut. Aku tak mau merasakan kesakitan yang sama lagi. Bagaimana jika kali ini.. semua sama saja? Bagaimana jika kali ini juga tak ada yang akan menyambutku di dasar jurang itu? Bagaimana jika suara suara yang memanggilku dari dasar jurang sana hanya.. hanya gema yang berasal dari suaraku sendiri?” Dia melirikku lagi, matanya ketakutan, “Mengerikan bukan?” “Jadi.. menurutmu, aku harus bagaimana? Jika, mimpi itu datang lagi.. haruskah aku melompat jatuh? Atau haruskah aku berbalik arah dan segera pergi menjauh?”

Aku menenggak kopiku lagi. Kopi dalam kalengku sudah tak terlalu dingin lagi saat itu, hingga membuat pahitnya semakin jelas terasa di lidah. Aku selalu tak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan pertanyaan dari dia. Bagaimana jika aku salah? Aku sungguh benci melihatnya selalu bersedih. Bagaimana menurutmu? Kurasa kamu lebih paham mengenai jurang itu bukan? Jika bisa, mungkin aku akan menanti dia di bawah sana.. atau kamu mau menggantikanku di sana? Maaf maaf, siapa tadi namamu?

Dia tiba tiba tertawa pelan, “Tapi mungkin aku hanya akan duduk diam di pinggir jurang kali ini. Rasanya aku sudah tak senekat dulu untuk melompat jatuh. Mungkin jika aku duduk diam berlama lama di pinggir jurang, dasarnya akan semakin terlihat sedikit demi sedikit.” Dia menyusutkan air mata yang baru saja membulat di ujung matanya, “Setidaknya, aku lebih siap membenturkan diri ke batuan cadas itu jika sudah kulihat mereka dari kejauhan. Yah.. setidaknya itu lebih baik dibanding berharap mendapati seseorang akan menangkap tubuhmu di bawah sana, bukan?”

Dia meraih kaleng kopinya, dan meneguk isinya pelan pelan. Raut mukanya mengkerut sedikit. Dia melirikku sambil tersenyum, “Ternyata kopi ini pahit juga ya?”

Aku memandangi dia dengan iba. Bahkan, ketika gadis gadis lain sanggup berharap lebih, dia malah sibuk mempersiapkan diri untuk hancur lagi. Apakah kamu juga merasa iba sekarang? Iba? Jika ya, maka, apa yang menurutmu mesti dia lakukan sekarang? Jatuh atau.. menjauh?

***

I’m throwing my arms around
Around Paris because nobody wants my love
Nobody wants my love, nobody needs my love
Nobody wants my love
(Morrissey – I’m Throwing My Arms Around Paris)

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata