Jam Tangan

Ciputat, 25 Januari 2012

Berapa lama waktu yang kauberikan untukku memilikimu?

***

Pria berkemeja rapi dengan celana panjang yang sedikit berbekas lipit sering menarik perhatianku dengan mudahnya. Tak terkecuali pria yang satu itu. Pria yang mudah gugup jika kusentuh sedikit saja bagian tubuhnya. Tapi dia dapat dengan cepat berubah berkuasa saat menarikku ke dalam kamar.

Aku suka caranya menanggalkan seluruh pakaiannya dalam setiap sesi panas kami hingga dapat kunikmati kehangatan kulitnya tanpa terhalang serat bahan. Hanya sebuah jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya lah yang akan tersisa. Jam tangan berantai perak yang selalu tampak mengkilap. Hadiah ulang tahun ke empatpuluh lima dariku. Jam tangan kesayangannya.

Sejujurnya aku senang sekali dia menepati janjinya untuk terus memakai jam tangan itu saat jam tangan itu kuberikan padanya setahun yang lalu. Tapi jam tangan tetaplah jam tangan. Fungsi utamanya untuk mengingatkan seseorang akan waktu. Bukan pada pemberinya. Jam tangan itu sering menjadi alarm tak bersuara yang memotong waktu-waktuku bersamanya begitu saja secara tiba-tiba. Hidupnya menuntut waktu. Aku beruntung masih disisakan satu dua jam untuk memilikinya beberapa malam sekali. Waktu yang dicuri dari jam-jam lemburnya di kantor. Atau waktu yang dicuri dari kepadatan jam kerjanya di kantor.

Belakangan ini aku mulai protes dan memintanya melepas jam tangan itu sekali saja saat dia sedang bersamaku. Aku ingin dia lupa waktu sesekali. Lalu terbangun dalam belaian lembut cahaya matahari yang masuk dari jendela kamar lantai kesekian sebuah apatrtemen mewah hadiahnya untukku ini, lantas kami akan sarapan pagi bersama layaknya sepasang kekasih normal di luar sana. Dia hanya akan menggeleng, mengecup lembut leherku. Mengatakan ketidaksanggupannya melakukan hal itu. Begitu banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya begitu saja, lagipula.. kulumat bibirnya agar tak melanjutkan kalimat itu. Aku mencintainya dan telah bersedia menerima semua kekurangannya. Termasuk kekurangannya akan waktu untuk bersamaku. Titik sampai di sana.

Satu malam dia datang ke apartemenku dengan tergesa-gesa. Untuk pertama kalinya dia melepaskan jam tangan itu di hadapanku. Kesenanganku akan hal itu luruh seketika saat dia duduk dan mulai menjelaskan segalanya,

“Maaf. Kurasa semua berakhir di sini. Dia menemukan kotak jam tangan itu. Dia menemukan kartu ucapan kecil yang kautulis di dalamnya. Semua berubah kacau. Dia mengancam bunuh diri dan membawa anak-anak mati bersamanya jika aku tak mengakhiri hubungan kita. Kau tahu cepat atau lambat hal semacam ini akan terjadi. Kukembalikan jam tangan ini padamu, maaf, sayang. Maaf..”

Aku tetap tak bergerak dari atas kasur saat dia melangkah gontai keluar dari apartemenku. Cintaku pergi untuk selamanya dan meninggalkan jam tangan itu di pinggir kasur. Jam tangan yang tak pernah dilepaskannya demi menjaga ketepatan waktu pulang ke rumah tanpa dicurigai istri. Jam tangan yang justru memisahkanku darinya, cinta terlarangku..

***

Bertahun kemudian aku akhirnya menikahi pria lajang yang selalu memakai kemeja rapi dengan celana panjang yang sedikit berbekas lipit di kantor. Dia duduk malu-malu di pinggir kasur pada malam pertama kami. Perlahan membuka satu persatu pakaiannya. Tangannya berhenti di pergelangan tangan kanannya saat aku berbisik lembut,

“Jangan dilepas. Aku suka jam tanganmu..”

***

Comments

Popular posts from this blog

untitled: ucapan yang hilang

Jika.

Kehilangan Kata